3 | Ayah?

4.2K 503 109
                                    

Yeri memandang pantulan dirinya di cermin, merapikan sejenak jilbabnya setelah itu ia keluar dari kamar. Di depan televisi, di dapatinya sang Abi yang baru pulang kerja dan Haikal yang tengah bermain ponsel.

Ia menghampiri Abinya, mencium tangan dan duduk di sebelah Haikal. Walaupun sudah di rumah, Abinya tetap saja sibuk. Serumit itukah bekerja di KUA?

"Bulan depan Ramadhan, terus Syawal makin banyak yang daftar buat nikah," celetuk Abinya sembari menatap kertas-kertas di depannya.

"Setiap taun kan emang gitu Bi," seru Umi Rina yang keluar dari dapur sembari membawa air teh manis hangat untuk Abi.

"Taun ini beda, banyak banget yang mau nikah. Bahkan beberapa ada yang baru lulus SMA langsung nikah,"

Abi menatap Umi sembari meminum teh nya, "Terus anak kita yang udah dua puluh satu taun kapan nikahnya?"

Gerakan tangan Yeri yang hendak memakan biskuit terhenti, sementara di sebelahnya sang adik tengah menahan tawa.

"Biarin aja jadi perawan lapuk Bi, si teteh mah terlalu pilih-pilih sama calon suami," celetuk Haikal kemudian tawanya lepas.

"Abi, Riana itu—"

"Anak temen Abi ada yang lulusan Gontor. Kamu mau, kalau di jodohin sama dia?" Yeri menunduk mendengar pertanyaan Abinya itu. Ia bimbang.

"Ri, kita itu bukannya maksa kamu buat cepet-cepet nikah. Cuman kamu tau sendiri kan, udah berapa banyak laki-laki yang kamu tolak. Kamu bilang iya-iya aja, eh pas dateng kamu bilangnya gak mau, belum siaplah, apalah. Kamu gak tau seberapa malunya Umi sama Abi kalau ketemu keluarga yang kamu tolak."

Yeri menatap biskuit di genggaman tangannya dalam diam mendengar ucapan sang Umi. Sungguh, ia sama sekali tak bermaksud membuat keluarganya malu. Sama seperti jual beli, harus ada rasa suka sama suka. Namun dari beberapa laki-laki yang datang langsung ke rumahnya, tak ada satu pun dari mereka yang membuatnya merasa tertarik setampan apapun itu.

"Kalau kamu gak mau juga gak apa-apa, Abi gak maksa. Mungkin belum ketemu jodoh kan?" Abi tersenyum penuh pengertian pada putrinya. Ia tak terlalu berharap Yeri menikah di usia ini sejujurnya, hanya saja mengingat cukup banyak temannya yang ingin putrinya ini menjadi menantu mereka membuatnya cukup jengah.

Ia juga tak mengerti apa yang membuat putrinya menjadi idaman.

"Maaf Abi, Umi,"

Haikal berdehem dengan suasana yang kurang mengenakkan ini, ia kemudian berdiri dari duduknya dan mengambil peci hitam di atas meja.

"Udah mau magrib, Ikal ke masjid dulu ya!" Pamitnya dan segera keluar rumah.

Yeri melirik Umi dan Abinya takut-takut, yang di dapatinya adalah senyuman dari sang Umi padanya. "Sana ke majlis, anak-anak udah nungguin kamu kayaknya,"

Ia menghela nafasnya lega, ia pikir sang Umi masih marah padanya. Yeri mengangguk dan segera mengambil mukena miliknya kemudian berlari kecil keluar rumah begitu melihat jam menunjukan pukul lima sore.

"Makin banyak temen undangan nikah yang Umi dapet, makin pengen Umi cepet-cepet ngebesan,"

Salman melirik istrinya itu dan tersenyum, "Sabar aja, Abi yakin bakal ada nama Riana di KUA taun ini,"


















"Tumben ke masjid jam segini. Biasanya juga kalo udah adzan baru berangkat," cibir Jundi begitu mendapati Haikal di depan rumahnya. Ia memberikan sepotong kiko padanya begitu menutup pintu pagar rumah.

"Di rumah tuh Abi bahasnya nikah terus, jadi males kan," Haikal memakan kikonya sembari berjalan menuju masjid. Rumah Jundi dan masjid memang tak terlalu jauh karena itu Haikal memutuskan menghampirinya untuk menemani ia di masjid.

Melamarmu Where stories live. Discover now