Salah satu ujung bibirnya Akira paksa naik, mengukir senyum dengan tatapan lirih. "Anda baru mengatakannya."

Tidak sekali sengatan listrik menghantam lensanya, sukses kali ini membuat Akira terang-terangan merintih. Berakhirlah Silvis melemparkan pandangan penuh tanya kepada divisi robotika di sana, terutama pada Aoi.

"Saya memohon izin, Tuan Silvis."

Android lantas berhambur keluar, mengundang banyak sekali tanya di dalam kepala Silvis.

Tapi sayang. Agaknya mereka tak memiliki banyak waktu. Dia akan menyimpan semuanya setelah kata sambutan, sementara utuh membiarkan Akira pergi sekarang.

~*~*~*~*~

Akira bahkan tak tahu mengapa ia memilih untuk berlari menuju rumah sakit. Semua mata sempat memandangnya kala ia berpapasan, tak sengaja pula ia menabrak bahu orang berkali-kali. Toh, ia tetap meminta maaf kepada siapa saja yang menjadi korban tabrakannya. Mereka yang mendengarkan penjelasan singkat darinya pun berakhir enggan mempermasalahkan.

Kini ia lebih berhati-hati. Namun, tetap saja kepanikan seolah terpancar dari sepasang lensa tersebut. Kala berbelok tikungan saja ia hampir persis menabrak seorang wanita yang terkaget atas kehadirannya. Kalau saja tidak merendahkan kecepatan, wanita itu sudah jelas bisa terpental karena bobot tubuhnya yang lebih berat.

Sekali lagi Akira meminta maaf, kali ini memastikan sampai si wanita tidak apa-apa. Beruntung, wanita tersebut terpana pada paras si android, lantas spontan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Meski Akira telah berlalu dalam gerak lambat semula, kepalanya bahkan ikut berputar pada Akira, tetap berpaku di tempat sampai punggung tegap tersebut hilang dari pandangan.

Sementara di dalam kepalanya, baru ia menerima sebuah pesan yang cukup menarik perhatian. Dari nomor tak dikenal.

Toh juga tak akan ada yang menyadari bahwa ia bukan manusia saat ini. Jadi Akira segera membuka pesan tersebut tanpa terlebih dahulu merogoh ponsel dari saku jasnya.

Di pandangannya tertulis, Dia dalam bahaya. Segeralah datang!

Berakhir Akira menutup pesan. Beberapa kali lensa bagian kirinya merasakan sengatan. Peringatan ini justru membuat kehawatirannya memuncak. Pun, cukup mengganggu.

"Sial!" erang Akira seraya memulihkan keseimbangan. Dia tak tahu apakah ia harus merasa beruntung atau tidak setelah mempelajari umpatan itu dari Adam.

Sementara jauh di sana, tepat beberapa waktu lalu Kirika masih berpaku tatap kepada pria yang baru saja ia sebut ayah. Kini, sungguh ia tak yakin apakah ia sedang berada di alam sadar atau dunia mimpi sama sekali.

Satu langkah dari orang yang memiliki rupa seperti Hardy tersebut sukses membuat Kirika mengeratkan pegangan pada selimutnya. Bahkan ia tak henti-hentinya menelan ludah, sebisanya menghilangkan cekat di bagian leher juga berharap agar jantungnya berhenti memicu lebih cepat.

Padahal Kirika tahu bahwa langkah yang ia buat begitu lambat. Namun, barangkali gerak-gerik seperti itulah yang mengundang gemetar menguasai tubuhnya sekarang.

Kontan Kirika merasa setengah kewarasannya hilang setelah menyadari orang itu semakin dekat. Dia malah memilih melemparkan tablet yang tengah berada di pangkuan, berharap perbuatannya berhasil menghentikan si pria.

Seolah bereaksi dengan ancaman, tangan kirinya dengan cepat berubah wujud menjadi tentakel yang sama seperti kala ia menyerang suster yang merawat Kirika. Hanya saja kali ini ia sama sekali tak memperlihatkan bagian yang tajam.

Secepat kilat tentakel tersebut menghalau tablet hingga terbanting entah ke mana. Pula tanpa aba-aba mulai melilit diri ke leher Kirika yang kemudian mengangkatnya, persis bagai tengah mengangkat kapas.

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora