"Apa kau membawa berita baru?" Kembali Kirika membuyarkan hening. Meski demikian, manik delimanya masih tertuju kepada mawar yang masih Akira rangkaian bersama teman-teman barunya. "Jangan bilang kau hanya ingin datang memberikanku bunga lagi."

Akira menggeleng sembari tertawa canggung. Lagi pula ia sudah kapok dimarahi sang Madam karena itu. Lekaslah ia duduk di samping Kirika, lantas bertutur, "Kita mendapatkan sponsor dari sejumlah taman hiburan yang Anda undang ke seminar."

Satu kedipan dari Akira tak lama disusul getar notifikasi dari tablet Kirika. Kirika memeriksa dokumen yang ia terima, langsung membaca isinya dengan hati-hati.

"Saya sudah mengirimkan data pendapatan sejak bulan Januari dari Nona Adams," lanjut Akira. "Seperti yang Anda ketahui, Nyonya Watanabe masih menjalan operasi ke luar negeri sejak pertengahan bulan ini."

Demikian Kirika puas melihat setiap data baru, ia meletakkan tablet kala mendesah panjang. "Dia memang sudah terlalu tua, tetapi Paman tetap menyuruhku untuk mempertahankannya di perusahaan. Tidak ada pilihan lain.

"Untuk sementara aku akan melihat perkembangan atas kesehatannya." Kirika lalu menoleh pada Akira yang mengerjap. "Ada hal lain?"

Kali pertama Akira tertegun. Pun, ia berpaling dari pandangan Kirika, sedikit menunduk dan sejenak menoleh ke samping.

"Profesor Tsukino mengkhawatirkan Anda," katanya sambil melirik segan. Sementara telah ia dapati Kirika membuang muka ke jendela. "Dia sangat ingin menjenguk Anda ... jika Anda berkenan."

"Katakan padanya aku akan baik-baik saja. Barangkali aku akan sembuh lebih cepat dari perkiraan dokter." Kirika menoleh dengan senyum samar.

Satu kedipan seolah menyadarkan Akira kembali ke kantor Kirika. Lensa birunya menangkap langit sore. Matahari terbenam, membentuk lembayung yang menyilaukan mata.

Puas memandang cahaya yang menerpa, Akira menoleh kepada sofa tunggal yang kosong. Tepat. Sebuah tempat di mana biasa Kirika menghabiskan waktunya di sini. Wanita yang masih tak meninggalkan kebiasaannya menetap berhari-hari ketika pekerjaannya sedikit lebih lenggang.

Sayangnya, kali ini ketiadaan sang Madam di kantor bukan karena pekerjaannya telah menipis. Bukan pula sebab ia tengah pergi mengurus perihal yang terkait perusahaan.

Menyadari kekosongan di sekitar tetap sama sejak beberapa hari silam, Akira sebisanya mendengkus panjang. Dia sama sekali tak terbiasa. Meski ia tahu, keberadaan Kirika hampir terasa serupa seperti sekarang, tetapi setiaknya kantor ini terasa lebih hidup.

Akira melempar pandangan kepada pemandangan yang sejajar dengan kedua kakinya. Lensa si android berfokus kepada orang-orang yang semula terlihat kecil di penglihatannya. Kala memperbesar jarak pandangan, ia mendapati satu per satu wajah orang berlalu lalang, begitu jelas.

Demikian Akira berkedip, mengembalikan fokus ke jarak normal. Dia menerima suara dering ponsel dari dalam jasnya. Namun, ketimbang merogoh saku jas, ia lebih memilih mengedipkan lensa guna mengangkat sebuah panggilan. Atas kesalahannya, ia malah tertawa kecil.

"Ah, lupa."

"Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?"

Suara Aoi jelas menghentikan tawa si android, tetapi tetap mempertahankan senyumnya. Berakhir tangannya meraih ponsel, kemudian memandangi layar yang memperlihatkan tampilan bahwa ia telah terhubung dengan nomor si profesor muda.

"Tidak, Profesor Tsukino. Hanya saja saya masih belum terbiasa menggunakan ponsel," kata Akira, berikut dengan kikuk menempelkan ponsel ke telinga kiri. Demikian ia melangkah keluar dari kantor bergerak menuju lift. "Apakah semuanya sudah siap?"

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Where stories live. Discover now