Unknown Stairway 1

3.5K 331 140
                                    

Kata mas Rahmat, sekolah SMK itu sekolah paling santai di dunia. Seragamnya sih sama kayak sekolah SMA pada umumnya, tapi boleh tidak rapi --kayak seragam atas dikeluarin, dua kancing atas enggak usah repot-repot dikancingin, kerah kemeja boleh dinaikin, bagian belakang sepatu diinjak sampai gepeng, kaos kaki bisa berwarna-warni -- bahkan, kalau mau sandal jepitan ke sekolah juga boleh.

"Ya nggak mungkinlah!" balasku sengit. "Mas Rahmat ini kalau ngomong suka mengada-ada!"

"Masa sama pacar sendiri bohong? Ya nggak mungkinlah. Akutu kalau ngomong nggak suka mengada-ada." Rahmat mengikuti cara melengking protesku.

Aku mencubit lengannya dengan kesal. Ia mengaduh sembari menjauh.

"Kok nggak percaya?" katanya lagi. "Slogannya aja SMK Bisa!"

"Bisa apa?"

"Bisa bikin onar!" jawab Rahmat sambil terbahak.

Plak!

Aku menepuk bahu mas Rahmat keras-keras dan kembali mencubiti lengannya. "Jangan bercanda, ah! Aku jadi bingung, Mas...."

"Sudah, lanjut sekolah bareng aku aja. Jadi adik kelasku. Biar kita bisa tiap hari ketemu. SMK Bisa--aku bisa pacaran tiap hari sama kamuu...."

Mas Rahmat ini gendeng. Masa tujuan sekolah malah buat pacaran melulu? Lagian, aku enggak berminat mengambil jurusan mesin.

Duh, bingung....

Obrolan kecil itu terjadi saat aku kelas 9. Saat aku sebentar lagi mau lulus SMP dan bingung mau melanjutkan sekolah ke mana.

"Sudaah, SMK aja. Kan, ada aku," putus Rahmat. "Ibumu dulu juga sekolah di sana, kan?"

Yaa, juga, sih. Tapi....

Pilihan sekolah yang 'itu' dengar-dengar selulusnya dari sana, murid-murid bisa langsung bekerja. Wah, asyik. Itu artinya bisa cepat punya duit....

Tapi...

Sekolah 'itu' juga dikenal sebagai sekolah pencetak 'buruh'. Maksudnya, sekolah yang mencetak lulusannya cuma jadi pekerja. Bukan pemimpin dengan jabatan tinggi, berjas hitam perlente, seperti yang sering disematkan orang-orang untuk lulusan SMA --apalagi yang melanjutkan kuliah sampai jenjang paling tinggi.

Seandainya bisa memilih, aku pengin sekolah di SMA negeri lalu lanjut kuliah di kampus bergengsi. Tapi, boro-boro punya duit buat kuliah, buat foya-foya beli es krim Magnum aja aku kudu menabung gajiku yang nggak seberapa dari bekerja sebagai kasir di minimarket milik Bude.

Kalau begitu realistis aja. Lebih baik aku melanjutkan sekolah ke SMK, supaya bisa langsung bekerja dan dapat duit. Kalau pun cuma jadi buruh rendahan, kalau aku mau tekun bekerja dan belajar, masa nggak bisa naik jadi bos yang punya jabatan tinggi?

Kebingungan itu terus terang membuatku agak pusing. Baru mau lulus SMP aja kegelisahanku sudah kayak orang tua. Mikir sekolah yang ada hubungannya dengan menghasilkan duit untuk bertahan hidup.

Yaa, habisnya gimana? Keadaan keluargaku begini, sih... kismin.

Aku hanya tinggal berdua dengan Ibu. Ibuku bekerja di kitchen di salah satu hotel berbintang empat. Bukaan, ibuku bukan chef dengan seragam dapur dan topi putih yang menjulang tinggi. Aku tidak tahu apa istilahnya, tapi kerja ibuku begitu pontang-panting dan sering lembur. Meski babak belur, kehidupan kami tak juga segera menjadi lebih baik.

Meski begitu, hidup sederhana alias sering nggak punya duit tak membuatku mudah mengeluh. Sedari kecil Ibu sudah mengajariku untuk tak mengeluh saat menghadapi masalah, tapi mencari jalan keluar.

Stairway to UnknownOnde histórias criam vida. Descubra agora