***

Sherina menutup buku-bukunya saat melihat jam di dinding menunjukkan pukul 17.10. Perpustakan kampusnya terdengar menyeramkan terutama kalau sudah mendekati magrib.

Ia baru saja akan membereskan bukunya dan memasukkannya ke dalam tas, tetapi terhenti saat dia merasakan sesuatu muncul di belakangnya. Ia menelan ludahnya. Berharap ini semua hanya mimpi belaka.

"Sherin."

dan dia menoleh untuk menemukan Tama tersenyum manis di belakangnya.

"Aku pikir kamu setan." Kata Sherin seraya mengelus dada.

Tama melihat Sherina dengan tatapan terluka, atau mungkin pura-pura terluka. "Wajah setampan ini setan?" Kata Tama seraya berpura-pura sedih.

Namun Sherina tak peduli. Dia memasukkan buku-bukunya di tas, begitu juga dengan laptopnya yang sudah tertutup dari tadi.  Ia kemudian berdiri, dan menggandeng Tama. "Ayo pulang." Katanya seraya menarik Tama keluar.

"Kalau aku bukan Tama, gimana?"

dan Sherina lalu melepaskan pegangan tangan itu, berdiri sedikit menjauh, melihat kaki yang ternyata menapak di lantai itu. Sherina memincingkan matanya saat Tama tertawa, tetapi kemudian terhenti saat mendengar suara "sssstttt" dari orang-orang sekitar.

Sherina kemudian berjalan keluar, mengarah menuju tangga turun, meninggalkan Tama yang berusaha untuk tidak tertawa. Seraya menuruni tangga, rupanya Tama bisa mengejar Sherina, menarik lengan Sherina, mendekatkan badan Sherina dengannya, dan mengecup pipinya. "jangan ngambek,"

Siapa yang bisa ngambek kalau dikecup Tama?

"Ayo cepat, perpustakan horor kalau mendekati magrib."

Tama kemudian mengandeng Sherina dan menuruni tangga bersamaan.

***

Milena melipat kedua tangannya saat melihat Tira berdiri di depan rumahnya dengan membawa bingkisan. "Dari Lulu." Ucap pria tersebut, dan membuat Milena semakin kesal.

"How dare you." Kata Milena seraya masuk ke dalam rumahnya, membiarkan Tira ikut masuk ke dalam rumah. "Jadian ama Lulu nggak bilang aku?"

Tira hanya tersenyum. "Surprise?" Ujarnya, sementara Milena hanya mendecak.

"Sudah dua bulan? Jadiannya?"

Tira mengangguk. "Iya,"

"Lain kali kalau ke jogja ajak aku."

Tira kembali mengangguk. "Bagaimana denganmu dan Dipta? Lancar?"

Milena menghela napas. "Tidak. Tidak sama sekali."

"Tinggal kamu saja bukan sih yang belum?"

Milena kemudian duduk di sofa, membiarkan Tira ikut duduk, dan meletakkan makanan yag dibawanya di meja. "Mungkin memang aku harus cari yang lain. Masa satu perumahan pacarannya sama satu perumahan?"

Tira menaikkan pundaknya, "Entahlah manusia, tapi itu memang lebih praktis. Tidak mencari lagi, mendapatkan yang terbaik--asik bukan?"

"Asik kalau orangnya suka aku juga. Sayangnya dia tidak. Aku capek Tir."

"Kita bilang orangnya aja."

"Bilang?"

"Kamu capek, sama dia."

"Udahlah. Ayo ceritain kamu sama Lulu aja. Gimana cara nembaknya? Biar aku bahagia."

***

"Dek,"

"Apa?"

Adelia dan Adimas sedang berada di Upnormal. Sengaja tidak di cafe milik Tama karena takut termata-matai. Terutama Upnormal buka 24 jam, untuk mereka yang sedang mengerjakan tugas. Atau tepatnya Adimas menemani Adelia mengerjakan tugas, sementara Adimas membuat PPT untuk seminarnya besok.

"Aku sedih loh yang tadi siang."

"Yang mana?"

"Yang kamu takut kita putus. Aku emang se-unworthy itu ya? Kayak emang bakalan bikin kita jadi putus gitu ya kalau LDR?"

Adelia menggeleng "Aku cuman takut aja, takut kita nggak akan bertahan."

"Have a faith with me, yeah?"

Adelia terdiam sebentar sebelum mengangguk, "Udah, besokkan mau seminar. Semangat ngerjain PPTnya."

"Cium dulu," lalu Adimas memajukan bibirnya.

"Ntar, selesaiin dulu."

"Okee."

***

Oriel melirik jam tangannya saat melihat Azio duduk di depan rumahnya, dengan rokok dan secangkir gelas di meja. "Jam 9 gini, lo ngapain mas?"

"Duduk sambil lihat langit." Katanya.

Oriel mengadah ke atas, melihat langit yang gelap. "Lo liat apaan? Orang nggak ada apa-apa."

"Ya berisik lo, sana mandi. Bau binatang." Hardik Azio. Membuat Oriel merengut, lalu berbalik arah menuju kos-kosannya. Melihat motor Adimas yang tidak ada, melihat lampu Safira yang mati, melihat mobil Tama yang tidak ada.

Oriel kemudian berbalik arah, lagi, lalu tersenyum licik, "Lo nungguin mba Fira ya?" lalu Oriel tertawa. "Bucin lo mas."

"Berisik, udah masuk sana."

"Lo mau nembak ya?"

"Apaan. Sudah sana."

"Apa? Lo mau nembak?" Randi, ya seperti yang kita tahu, si manusia noisy ini akan sigap segera kalau mengenai Azio dan Safira.

"Bacot lo mas, sana urusin istri lo." Kata Azio, yang menurut Oriel kini sudah bermuka merah.

"Tapi aku juga penasaran, Zio. Bener mau nembak?"

Azio berdeham. Kalau sudah Aileen yang ngomong dia mau tidak mau harus jujur."

"Doain aja ya di terima."

Lalu Randi melihat Aileen yang tersenyum sumringah. Sementara Oriel sudah siap cie cie, tetapi tiba-tiba cahaya itu datang. Membuat Oriel mau tidak mau menyingkir dari tempatnya berdiri, menuju rumah Azio. Mobil berwarna hitam, dengan Plat N, berhenti sempurna di depan rumah Safira.

Beberapa saat kemudian, dari kursi penumpang ada Safira turun. Randi dan Aileen tentu dapat melihat siapa orang yang menyupir tersebut, membuat pasutri itu saling lihat.

"Mas Zio." Kata Oriel. "Cowo mas cowo."

"Bener." Imbuh Randi.

"Hati-hati ya," kata Safira sebelum menutup pintu mobil tersebut.Membiarkan mobil tersebut atreet dan meninggalkan pelataran perumahan.

Safira sendiri menoleh, ke arah rumah Azio dan Randi serta Aileen, untuk tersenyum sebelum masuk ke dalam rumahnya.

"Mas, maju mas." kata Oriel.

"Iya Zio, kalau itu pacarnya gimana?" ujar Aileen

"Ya berarti nggak jodoh." kata Azio sok santai, seraya memasukkan rokoknya ke dalam cangkirnya. Mematikan rokok tersebut secara sadis kalau menurut Oriel. Lalu berdiri dari tempatnya, berniat masuk.

"Zio." Tegur Aileen lagi.

"Besok aja. Udah malem. Tidur gih." Kata Azio lalu masuk ke rumahnya dan menutup pintu rumahnya.

"Cemburu tuh."

"Banget."

"Parah mas Zio."

***

Perumahan Bahagia ✓Where stories live. Discover now