*11*

15 1 0
                                    

"Apa yang terjadi tadi? Na?" Tanya Nami mencoba mengusik sahabatnya yang duduk di sampingnya di dalam perjalanan pulang.

Di dalam mobil, sahabatnya itu tertangkap basah memandang ke luar jendela mobil sok-sok menerawang jauh sambil senyum-senyum sendiri.

"Apa yang terjadi memangnya?" Sadar sepenuhnya apa yang dimaksud oleh Nami, Arna pun pura-pura tidak mengerti.

Ia perlu waktu.

Ia juga tidak atau belum sepenuhnya tahu bagaimana harus menjelaskan apa yang memang harus dijelaskan. Walau sebenarnya semua sudah terlalu jelas kentara, ia sedang dipagut oleh dewi cinta.

"Kecuali menurut mu telinga ku buta tidak melihat cara kalian saling memandang pas kita makan tadi atau semenjak A.D bersekolah dan akrab dengan mu aku mendadak bego, kamu mau cerita tidak?" Desak Nami dengan bahasa absurdnya.

"Ohh...." Arna cuma mengucapkan kata yang tak bermakna sama sekali, lalu tersenyum penuh arti dan ia tidak perlu cerita, Nami sudah bisa menebak! Mereka berteman sudah lama.

"Jadi tadi, pas aku sedang sibuk menghabiskan serial Miiko edisi khusus yang belum pernah kubaca, kalian berdua....?" Ia sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya guna melihat reaksi wajah Arna dan menduga apakah tebakannya benar.

Sekali lagi Arna hanya tersenyum, dengan kali ini pipinya memerah.

"Oh Tuhan! Seperti Tsukushi dan Tsukasa!!" Pekik Nami dl dalam mobil sampai membuat pak Kur harus menoleh ke belakang.

"Tsuku apa?...Siapa itu??" Arna malah bengong tidak paham.

Ia mencoba membuat sahabatnya itu agar tidak bereaksi terlalu heboh dan menarik perhatian pak Kur yang harus fokus menyetir mobil.

"Ah sudah lah, pokoknya ini seperti kisah dongeng yang jadi kenyataan!" Pekiknya lagi tidak peduli.

"Apaan sih Nur, no...no...nothing really happened.....yet...." Elak Arna.

Selain ketika males, ia juga suka menggunakan nama asli Nami ketika hendak dengan sengaja mengejeknya.

"Usu o tsuku!" Cecar Nami lagi pakai bahasa Jepang yang kurang lebih artinya menuduh Arna berbohong.

"Seterah lah...." Arna masih mengelak dengan mudahnya sembari kembali tersenyum dan menoleh ke arah jendela mobil lagi seolah tidak mempedulikan Nami.

Yang justru membuat Nami mendengus kesal dan semakin penasaran.

Entah kenapa sepertinya justru Nami yang lebih merasa senang dibanding Arna terkait masalah ini. Mungkin karena status dan kondisi mereka berdua selama ini yang sama-sama tidak pernah punya perjalanan cinta ala-ala anak remaja pada umumnya.

Seorang Nami menyadari, ketidakpercayaan diri yang ada di dalam dirinya, tubuhnya yang agak berisi, kulitnya yang gelap serta kacamata bulat tebal terlalu minusnya membuat ia anak perempuan terakhir yang mau dilirik oleh anak-anak cowok di sekolahnya.

Berbeda dengan Arna, yang Nami sendiri tidak mengerti, segala apa yang dimiliki oleh sahabat sebangkunya itu sebenarnya memiliki segalanya untuk jadi idola di sekolah. Tapi keengannyanya untuk berdandan atau cara ia terlalu kuat menarik diri dari pergaulan membuat semua yang ada di dirinya tidak pernah keluar nampak sehinggal bisa dilihat oleh anak-anak cowok di sekitar mereka.

Nami sendiri bukan tidak menyadari alasan dibalik Arna menolak menjalin hubungan, namun tetap saja ia tidak mengerti.

Dan sekarang, akhirnya begitu ia mengetahui sahabatnya ini telah membuka diri, membuka hatinya dengan seorang anak cowok yang menjadi idola banyak anak cewek di sekolah dan bahkan sampai membuat kehebohan karena memacari mereka sekaligus.

"Jangan sampai yang lain tahu, jangan dirimu bikin status di sosmed yah, Mi." Pinta atau lebih tepatnya perintah Arna.

"Un, wakata" Jawab Nami kembali sok berbahasa jepang.

Bagaimana pun ia turut bahagia, apa pun yang terjadi nanti di antara mereka, antara seorang gadis lugu dan seorang anak lelaki yang Nami yakin suka pura-pura lugu, ini sebuah awal kisah yang juga ingin sejujurnya ia alami namun belum pernah terjadi, dan kali ini dalam diamnya ia yang giliran tersenyum penuh arti.

Ia sepenuhnya turut berbahagia untuk temannya.

Awal DesemberWhere stories live. Discover now