*3*

19 2 0
                                    

Keesokan harinya, Hujan turun lebat.

Sudah masuk bulan oktober, musim hujan telah datang lebih awal tahun ini.

"Anak baru itu membuat gaduh, lagi" Lapor Nami kepada Arna, yang sebenarnya lebih peduli pada sepatunya yang basah terkena genangan dan sedang sibuk melepaskan dan membentangkan jas hujan warna pelanginya di pagar depan kelas.

Masih hujan lebat.

"Apa yang dilakukannya, emang?" Tanya Arna di antara peduli dan hampir tidak peduli.

"Barusan tadi, ia datang ke sekolah di antar mobil benz terbaru sampai halaman sekolah,"

"Wow," Tanggap Arna singkat dan datar.

Jadi benar anak baru bernama A.D itu anak orang tajir, tidak ada sejarahnya ada kendaraan bisa masuk ke dalam halaman sekolah.

"Ada seorang yang sepertinya pengawalnya, pakaian hitam-hitam, membawa kan payung untuk anak itu hingga sampai ke gedung sekolah tidak kehujanan sama sekali," Tambah Nami lagi dengan mulut seorang sana sini saking semangatnya ia bercerita.

Kemarin, di hari pertamanya saja, ia cepat menjadi akrab dan menjadi idola di kelas. Ia lugas dan ramah, dalam arti kata lain rajin menjamah juga, tidak sungkan ia duduk dipepet dua anak gadis selain Imel yang kurang lebih sama gatelnya. Tertawa lebar bersama-sama, senang, tentu saja.

"Setelah pengawal dan mobilnya pergi, pak Waldi, wakil kepala sekolah menyambutnya dengan hangat," Nami lanjut bercerita.

"Hujannya lebat sekali ya," Ujar pak Waldi berbasa-basi.

"Sepertinya begitu," Jawab A.D singkat, tentu saja begitu, di hadapan mata hujan turun dengan lebatnya, masih saja bertanya.

"Apa kabar ngg...ibu mu....." Tanya pak Waldi malu-malu.

"Baik pak, tidak kekurangan apa pun," Jawab A.D enggan sebenarnya, malas. Ia tahu arah pembicaraan ini.

"Kamu tahu, saya kenal ibu mu, dia senior bapak di SMA dulu, paling cantik di sekolah," Ujar pak Waldi dengan semangat.

"Bapak kenal ibu saya? Wow, siapa nama bapak, maaf." Tanya A.D

"Waldianto, panggil saja om Waldi," Sahut Pak Waldi sumringah dan hangat tersenyum, mulai mengakrabkan diri.

"Waldi....Om...Waduh..sayang, kayaknya Bunda nggak kenal tuh sama bapak," Sahut A.D antara sinis namun dengan intonasi manis, semanis senyum yang diberikannya kepada pak Waldi, bukan om.

Membuat Om-Pak Waldi serba merasa salah, menjadi tidak enak hati, semula ia hendak minta nomer WA ibu A.D atau memberikan nomernya sendiri, tapi sepertinya anaknya sudah menunjukkan ketidaksukaan.

Lalu A.D mengeluarkan sebungkus rokok dari saku jaketnya, mengambil salah satu batang rokok, menyelipkannya di sela bibirnya yang pucat, lalu mengambil mancis dan menyalakannya, membakar ujung rokok itu, menghisap lalu menghembuskannya kuat-kuat, membuat kepulan asap yang tebal di hadapan pak Waldi, yang melongo tak percaya.

"Dingin-dingin begini enak merokok pak ya," Ujar A.D kepada pak Waldi sembari menyodorkan bungkus rokok miliknya, mencoba menawarkan bungkus rokoknya kepada orang tua tersebut.

Yang masih melongo tak percaya, ada anak murid yang berani merokok di sekolah, di hadapannya.

"Kamu kok berani merokok di sekolah??!!" Tanya atau lebih tepatnya sergah pak Waldi kepada anak muridnya itu.

"Maksud bapak?"

"Hoyy!! Siapa itu yang merokok!!!" Teriak dari arah belakang A.D.

Pak Bisma, Guru B.K. Segera bergegas mendatangi A.D dan merampas rokok dari bibir A.D dan membuangnya.

Awal DesemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang