3

97.3K 1.5K 47
                                    

Mata Alvito menatap nyalang Mischa yang sedang tertawa bersama teman kuliahnya, dadanya bergemuruh. Dia memantau kampus Mischa sudah sejam, padahal sedang ada kerjaan di workshop. Sejak kejadian malam itu Alvito juga merasa gelisah, dia memutuskan untuk menjemput Mischa di kampus dan pekerjaan ditinggalkan pada orang kepercayaannya.

Mischa beberapa kali telah menoleh ke belakang. Dia pasti tahu mobil ini. Biasanya dia segera datang menghampiri dengan senyum gembira. Mischa membuang muka. Dia dan teman-temanya malahan menjauh dari tempat Alvito mengawasinya.

Alvito memukul dasbor, rahangnya bergemeletuk. Tampaknya Mischa tidak hamil, Alvito selalu memantau. Mischa minum jamu pereda nyeri dan membeli pembalut kemarin, kemurungannya sudah lenyap. Alvito tahu Mischa pastilah gugup karena sekalipun dia tidak mengadu tentang peristiwa itu, wajahnya pucat sampai dua minggu kemudian.

Alvito memarkir mobilnya di tempat terdekat dengan posisi Mischa dan membanting pintunya kasar. Dia berubah menjadi sosok yang tak sabaran. Alvito memanggil Mischa, kemudian tersenyum pada teman-temannya.

"Bang Alvito." Teman-teman Mischa menoleh. Hampir semuanya mengenal Alvito, bagaimana tidak? Mischa selalu membanggakan dan menceritakan abangnya.

"Abang jemput, pulang, yuk."

Mischa menjawab gugup, "Mischa mau pergi dengan teman-teman."

"Mischa dan aku ada keperluan, bisa dibatalkan, ya?" Alvito berbicara ke arah teman-teman Mischa.

Teman-teman Mischa mengangguk, adiknya itu langsung mengeluh. Terpaksa mengikuti langkah kaki Alvito yang panjang menuju mobil. Mischa menghempaskan tubuh di kursi penumpang, merengut.

"Kamu kenapa, sih?" Alvito membuang nafas keras.

"Lagi PMS," sungut Mischa.

Ternyata benar dugaan Alvito. "Kita ke mall, yuk? Ada yang mau dibeli?"

Mischa menggeleng, entahlah sejak peristiwa dua minggu kemarin Mischa enggan berdekatan dengan abangnya itu.

Sangat mudah jatuh cinta pada seorang Alvito, tapi Mischa tahu itu akan terlarang. Mereka juga telah berdosa, Mischa menahan dengan kuat agar tidak ada perasaan yang tumbuh dalam hatinya. Mischa memejamkan mata, mencium aroma maskulin Alvito. Biarlah, kejadian kemarin hanya akan jadi jejak kelam dalam kehidupan mereka.

"Kenapa sekarang kamu tidak mau berduaan dengan abang?" Alvito memberi tekanan pada suaranya.

Mischa terdiam.

"Jawablah Mischa, kamu nggak mau menerima abang?"

"Mischa punya pacar."

"Putuskan. Mudah bukan?"

"Mischa menyukai dia."

"Siapa? Apa si Landak?"

"Iya. Kemarin dia nembak jadi Mischa terima."

Alvito mengerem mobilnya mendadak. Dia tahu lelaki itu Orlando, biasa di panggil Lando sering diplesetin menjadi landak, teman SMA Mischa dulu, beberapa kali main ke rumah. Sudah lama mengejar-ngejar Mischa, setahu Alvito sudah berkali-kali Landak menyatakan perasaannya, tapi di tolak. Mischa selalu menceritakan soal teman-temannya, bahkan lelaki yang mendekatinya. Sedekat itulah mereka.

"Kamu terima dia karena kamu marah sama abang?"

"Bukan. Mischa memang suka dia." Mischa mengelak.

Alvito mendengus kesal. Seandainya ini bukan di jalan, sudah dia seret dan dia hukum Mischa dengan caranya. Mischa melipat tangannya diperut, tubuhnya menggigil.

"Kamu akan putus dengan dia, abang akan memastikan itu." Alvito menjalankan lagi mobilnya.

"Abang nggak berhak!" Mischa menjerit. Mischa tidak pernah berteriak marah pada Alvito, sebelum kejadian di villa waktu itu.

Behind Your Smiles (END)Where stories live. Discover now