"Seharusnya aku membaca laporan-laporan ini," kata Leona. "Aku baru sempat membaca sebagian."

Demikian tangan Leona bergerak mendorong dokumen ke hadapan sang ayah.

"Kuharap kau benar-benar mau mendengarkan," kata Leona. "Kita akan membahas Timothy dengan julukannya Si Seribu Wajah."

~*~*~*~*~

Malam dimeriahkan ingar-bingar di dalam ballroom yang luas. Para tamu mengenakan busana terbaik yang mereka punya. Senyum terlampir di wajah-wajah mereka, menciptakan kerutan yang tiada berkeluh-kesah atas lelah atau semacamnya. Kadang pula terdengar tawa yang nyaris terdengar menggelegar, berkuasa di dalam ruangan.

Berkali-kali Akira menoleh kepada pintu yang belum berhenti menerima tamu. Namun, sang Madam belum juga menampakkan batang hidungnya. Sedikit penasaran dirinya apa yang membuat para wanita begitu lama bersiap-siap.

"Apa Kirika tidak berminat mendatangi pesta?" Sebuah celetuk dari suara lembut kontan membuat Akira menoleh ke sumbernya.

Ah, Elizabeth rupanya.

Dia nampak berbeda dengan gaun biru gelap dan rambut yang disanggul rapi. Bahkan butuh detik untuk mengenalinya saat ini.

"Kupikir dia sangat menyenangi tempat ini. Dia begitu menyenangi taman hotelnya."

"Mungkin butuh waktu agar terlihat menawan?" sahut Akira menerka-nerka.

Kekehan singkat justru meledak dari bibir ranum yang sudah dipoles lip gloss. "Beruntung Kirika memiliki asisten sepertimu, ya, hm? Amat sangat penyabar. Aku menyukainya."

"Terima kasih. Saya menganggapnya sebagai pujian." Demikian Akira berujar kepada Elizabeth tak lama yang menyesap anggur.

Hendaknya Akira mengedarkan pandangan, beberapa jarak seketika terhenti kepada Silvis yang pula tak sengaja menjatuhkan pandangan padanya. Pria itu sekedarnya mengangkat gelas dengan singkat sebagai sebuah sapaan. Sementara si android mengangguk sembari mengulas senyum, pun melanjutkan perbincangan bersama Elizabeth.

Berbeda dengan Akira, Silvis justru lebih senang merapatkan dirinya pada dinding. Begitu baginya menyenangkan menikmati pemandangan dari sudut ruangan. Ballroom juga semakin penuh oleh suara-suara percakapan yang berkombinasi, selagi lagu yang tengah dimainkan para pengiring di panggung musik ikut menemani. Pun, terkadang dentingan yang seolah saling sambung-menyambung.

Sudah sepatutnya Silvis menemui Jason. Minimal, anak sulungnya, James Howard. Namun, satu pun di antara mereka belum menampakkan diri sama sekali.

Barangkali mereka tengah menyiapkan kejutan di tengah-tengah acara? Entahlah. Lagi pula, Silvis hanya mampu sekedar menerka. Pun, merasa hal itu terlalu konyol untuk dipikirkan, ia mengangkat bahu sebagai jawaban atas pertanyaan dari dirinya sendiri.

Demikian manik yang semula memandang dasar anggur dari gelasnya, kini melirik ke luar jendela.

Ya, dia juga agaknya penasaran apa yang membuat istri dan keponakannya begitu lama.

"Sedang menunggu Nona Alford, Tuan?"

Aksen Rusia yang familiar lantas membuat Silvis menoleh.

Dia sama sekali tidak menyadari sejak kapan Sergei berada di sampingnya. Yah, terlalu sering tenggelam di dalam pikiran acap kali membuat Silvis hampir tak sadar kepada sekitar.

Pun, sesungguhnya ia juga tidak menyangka Jason turut mengundang orang ini.

"Begitulah, Tuan Abramov," balas Silvis. Kekehan hambar pula ia tuturkan. "Sudah sewajarnya wanita membutuhkan waktu untuk mempercantik diri. Jadi, saya pikir tak mengapa jika kita menunggu sedikit lebih lama."

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Where stories live. Discover now