Part Lima Belas

37.2K 6.2K 1.4K
                                    

Pada akhirnya Diana pulang bersama sebagian rombongan keluarganya yang sudah kelelahan pukul dua siang.

Tapi tetap saja, ia pulang dengan Devan yang membawa pulang mobil pria itu. Diana menolak ketika ditawari untuk duduk di depan bersama si tetangga kamar. Jadi dia menyempil di antara dua sanak saudara yang bertubuh besar, sedang di samping Devan duduk sepupunya yang sedari tadi tak lepas fokus dari si pengemudi.

"Abang Devan, nanti aku ke rumah boleh? Mau periksa. Soalnya sukak pusing gitu kepalaku, bang."

Melirik pada Nasyla yang menggunakan kebaya berwarna senada dengan Diana namun model berbeda karena jika Diana berlengan panjang dengan bagian dalam menyatu dengan kebaya agar kulit wanita itu tak terlihat dari celah-celah brokat. Maka Nasyla memilih model kebaya berlengan pendek dengan dalaman berupa kemben.

"Boleh."

"Tapi abang capek, ngga?"

Pria itu menggeleng dengan senyuman tipis. Sekilas ia melirik Diana dari spion di atas kepalanya.

Wanita itu hanya diam, sambil melipat tangan depan dada. Tampak tak antusias dengan perjalanan pulang ini. Mungkin masih kesal padanya tadi. Ah ... dia memang kelewatan. Tapi menjelaskan mengapa bisa bersikap begitu juga tak bisa. Otaknya sih mengatakan jika Diana tak boleh pergi dengan orang asing. Bahaya jika terjadi sesuatu. Tapi dia juga orang asing, kan?

Bertetangga berpuluh tahun, baru beberapa minggu terakhir waktu yang ia miliki terselip Diana dalam adegan yang terjadi di hidupnya.

Sementara dulu, dua puluh empat jam waktu yang ia miliki, Diana hanya akan masuk dalam adegan di hidupnya ketika ia keluar ke balkon untuk memberikan teguran sinis pada wanita itu.

Paling selain itu hanya untuk memberikan makanan kepada Tiar yang biasa sang ibu titipkan padanya. Sebatas itu saja. Minim sekali bukan adegan antara dirinya dan Diana?

Lalu beberapa minggu terakhir Diana seolah mendapatkan peranan penting dalan adegan di hidupnya. Dan hanya begitu saja Devan seolah telah memiliki hak untuk melarang wanita itu pergi dengan pria lain.

Hah! Sebenarnya apa sih isi otaknya?

Oh iya. Melindungi Diana dari marabahaya.

Bodoh!

"Eh, mentel kali kau Nay."

Wanita di samping kanan Diana yang seusia dengan dirinya, namun memiliki tubuh dua kalilipatnya itu mencibir Naysila yang tak dipedulikan wanita di samping Devan itu.

"Berusaha dapat jodoh nya dia, kak." Kini wanita di samping kiri Diana menimpali. Yang aktif berbicara sedari tadi hanya Naysila dan wanita yang ada di kiri kanan Diana saja. Sementara di baris belakang ada dua orang wanita paruh baya dan seorang anak lelaki yang sudah tidur pulas. Mereka sepertunya kelelahan. Diana juga. Tapi mau tidur saja susah karena saudara-saudaranya ini cerewet sekali. Mana sempit pula. "Eh, Di! Keknya masam betul muka kau dari tadi!"

"Capek nya aku, kak. Kelen cerewet kali lah!" Wanita itu mengeluh dengan mata terpejam dan kening berkerut.

"Eh Di! Tadi kutengok ada cowok dekatin kau, e? Ganteng Di. Keknya juga baik."

"Heeem." Diana enggan membicarakan Farel yang masih ia sesali karena pergi begitu saja. Harusnya pria itu mengusir Devan tadi.

Wanita di sebelah kanan Diana menepuk bahu wanita itu. "Ngga ada kelanjutan sampai kau pasang muka masam cem ini."

"Ck! Capek nya aku kak. Nanti aja lah kita ngobrolnya." Diana mengurut kepala yang terasa sakit.

"Eh, sakit lagi kau Di?"

Dari Mata Turun Ke HatiWhere stories live. Discover now