Part Sembilan

30.2K 6.2K 1.2K
                                    

Devan ingat apa yang temannya katakan dulu, ketika ia memberikan bantuan pada seorang wanita yang jatuh terjerembab ke dalam selokan kecil. "Jangan terlalu baik, kalau tidak mau dianggap memberi harapan."

Devan tak mengerti jelas apa maksud dari ucapan tak berguna itu. Maksudnya, jangan pernah menolong sesama, jika enggan orang tersebut berharap lebih padanya. Sungguh, Devan tak tahu mengapa opini terbelakang seperti itu masih melekat di otak beberapa manusia.

Bodoh sekali manusia yang mengatakan jangan menjadi orang yang terlalu baik, apalagi pada lawan jenis. Karena akan menjadi hal yang tak baik jika dia menganggap lain kebaikanmu, atau terpesona dengan kebaikanmu, lalu mengharap padamu yang bahkan tak bisa mewujudkan harapan-harapan itu.

Mengapa sebuah kebaikan harus diberi batasan, sementara tanpa batasan itu saja, banyak manusia yang melenyapkan kepedulian pada sesama.

Mengapa harus memikirkan resiko ketika ingin melakukan sebuah kebaikan, jika ketidakpedulian membuat manusia tidak berguna untuk sesamanya.

Devan membenci dengan opini terbelakang yang tak bisa diterima oleh logikanya. Pria itu akan membantu siapapun yang membutuhkan bantuan, dan tak perlu merasa takut jika dirinya akan menciptakan sebuah harapan. Karena sebenarnya rasa seperti itu tak akan pernah ada jika seseorang yang ia tolong bisa membedakan mana kebaikan tulus, dan mana kebaikan yang menyelipkan sebuah harapan kosong.

Ya ... itu yang Devan lakukan. Memberi pertolongan pada siapapun, tanpa memikirkan dampak buruk yang akan terjadi. Karena bagi pria itu, hal positif tak pernah menciptakan negatif.

Dan itulah yang ia lakukan kini. Menghentikan kendaraan kala ia melihat seorang wanita mendorong motor di tengah hujan deras. Sungguh, ia tak mengenali siapa wanita itu awalnya. Dari kejauhan ia terlampau iba pada wanita malang yang tampak kesusahan, dan dia ingin menawarkan bantuan apapun yang bisa ia lakukan.

Namun ketika samar-samar sepasang netranya menangkap sosok yang nyatanya ia kenal, Devan menggeleng pelan. Entah dosa apa yang dilakukan si tetangga yang setiap berteriak membuat emosinya mendadak membludak, melenyapkan seluruh ketenangan yang menjadi identitasnya. Hingga tampak begitu malang sebanyak dua kali dalam satu minggu. Hebatnya lagi, dua kali ini dia yang turun tangan memberikan pertolongan.

Eh tapi ... semenjengkelkan apapun Diana, Devan tak lantas lepas tangan jika melihat wanita itu dalam kesusahan. Tak perlu Diana. Tetangganya yang lain yang kadang terlalu suka ikut campur urusannya pun akan ia beri pertolongan jika memang membutuhkan. Dan pria itu tak perlu takut akan ada yang menaruh harapan padanya. Ya ... dia murni menolong, tanpa embel-embel ingin dikagumi.

"Ini bener ngga apa-apa, bang? Basah nanti mobilnya." Tampak sungkan, Diana ragu-ragu kala ingin masuk ke dalam kendaraan mewahnya.

Devan yang sudah ada di balik kemudi menggeleng pelan. "Masuklah, hujan makin deras."

Merasa tak mendapatkan jawaban dari pertanyaannya, Diana lantas hanya mengangguk saja dan menuruti si pemberi bantuan. Ya baguslah. Daripada dia pulang naik ojek atau taksi yang bisa menguras isi kantongnya. Lebih baik kan menumpang kalau ada yang memberi tumpangan.

Meski dia masih bertanya-tanya akan satu hal. Mengapa harus Devan? Dari sekian banyak orang yang ia kenal, mengapa ia harus bertemu dengan tetangganya ini yang sudah dua kali mendapatkan dirinya dalam kondisi mengenaskan.

Bukan apa. Hati jomblo itu lemah, jenderal! Diana takut jika kali ini tameng pertahanan dirinya dari virus baper yang berkepanjangan akan runtuh karena harus bertubi-tubi menerima kebaikan pria di sampingnya.

"Kenapa pulang dari arah sana? Bukannya terlalu jauh?" Merasa hening, setelah beberapa detik memulai perjalanan kembali, Devan membuka suara.

Dan Diana yang sudah benar-benar basah kuyup, dengan rambut yang ikatannya sudah ia lepas, kemudian di sampirkan ke samping, berusaha sedikit mengeringkan, menatap Devan sebentar sebelum kembali fokus memukul-mukul pelan uraian rambut panjangnya. "Tadi anter baju pelanggan, bang. Harusnya Seto. Eh tiba-tiba anaknya sakit. Kan ngga enak sama pelanggan, pasti udah ditungguin. Jadi antar sekalian. Eh malah hujan. Pikir tadi mau berhenti dulu, kan, berteduh. Tapi takutnya malah kemaleman. Motor juga ngga mau nyala-nyala."

Dari Mata Turun Ke HatiWhere stories live. Discover now