Part Tujuh

29.2K 5.7K 619
                                    

Tandai kalau temu typo yah.

Tak tahu berapa lama matanya terpejam. Yang jelas ketika ia terbangun, Diana sadar ia tidur bukan di tempat yang seharusnya. Di kamar lelaki lain, di atas sofa. Itu bukan tempat yang seharusnya untuk wanita yang bukan siapa-siapa si pemilik kamar. Dan bukan hal yang bagus jika apa yang ia lakukan menjadi bahan omongan tetangga.

Entah ke mana tadi akal ia letakkan. Karena Firdaus sialan, ia harus di sini dalam keadaan memalukan lalu lebih tak malu lagi menumpang tidur seolah ruangan ini adalah miliknya.

Lagian, si pemilik kamar bisa-bisanya menyuruh dirinya berdiam di sini sendirian, padahal bisa menawarkan Diana di kamar yang lain.

Tapi kata Devan, mesin cuci yang sistem pengeringnya paling bagus hanya ada di sini. Sementara yang ada di kamar mandi bawah adalah mesin cuci biasa. Baik. Itu bisa dimengerti. Tapi membiarkan Diana menggunakan kamar pria itu untuk beristirahat?

Ya ampun apakah Diana begitu memelas tadi, sampai dikasihani seperti ini?

Segera keluar dari kamar, tanpa merapikan sanggulan rambutnya yang sudah acak-acakan, namun berpikir apakah tadi Devan melihat wajahnya yang biasanya tak sopan kala terlelap, misal menganga atau ngiler. Ya ampun, Diana tak memiliki muka. Wanita itu turun, dan di belakang tangga, ia lihat Devan sedang duduk di sebuah sofa, menyaksikan berita dari layar televisi besar, yang menurut Diana mungkin empat kali lipat dari TV 21 inch yang ada di rumahnya. Mata pria itu apa tak sakit melihat layar seperti itu?

"Kamu sudah bangun?"

Diana yang masih berada di anak tangga terakhir langsung terkesiap namun segera mengangguk cepat. "Maaf, bang. Ketiduran." Karena dia memang sedang begitu lelah. Entah apa yang dikerjakannya, intinya tubuhnya lelah. Mungkin karena menstruasi yang menyerap sebagian daya tubuhnya?

"Ngga apa-apa." Meski dalam kepala sempat menyesali keputusannya yang membiarkan Diana menempati kamarnya yang merupakan tempat paling pribadi.

"Em...." Diana turun, berjalan ke arah sebuah pintu menuju ruang tamu. "Bang, makasih yah. Maaf kali ngerepotin. Aku pulang dulu, mungkin mamak udah di rumah." Diana tersenyum bersama anggukan singkat. "Permisi, bang." Lalu pergi, berjalan cepat tanpa menunggu jawaban Devan.

Dia tak tahu harus meletakkan di mana wajah satu-satunya yang sekarang sudah semerah saga. Tak lagi ia pedulikan apapun pendapat Devan padanya. Memalukankah, menjijikankah, tak tahu dirikah. Terserah. Yang penting sekarang ia pulang, dan jika ternyata masih ada anjing sialan itu di depan rumahnya, ia akan berbelok ke acara pesta Ziena dan menarik sang ibu untuk pulang.

Namun beruntung sekali memang si tepos ini. Ketika melongok ke arah rumahnya, motor Muda sudah terparkir di sana. Dia pulang!

"Eh, kak. ke mana dari tadi?" Muda tampak terkejut pada kehadiran kakaknya yang masuk tanpa berucap salam. Sudah biasa jika Diana tak memiliki sopan.

Mengernyit, Diana mengangguk pelan. Adiknya tak sendiri, melainkan tengah berduaan dengan Irish, calon istri Muda yang duduk anggun di sofa tunggal setelah tadi meloncat dari sofa panjang, ketika Diana masuk ke rumah tanpa suara. Gadis yang usianya baru memasuki dua puluh dua tahun itu tersenyum malu-malu minta ditinju.

Tadi tak memiliki malu saat berdekatan dengan Muda, menempel-nempel seperti lem alteco. Heran. Kenapa anak perempuan jaman sekarang, dipegang lelaki yang bukan pasangan sahnya biasa saja. Diana saja masih merasa risih. Ya ... walau tadi saat tangannya dipegang oleh tetangga sebelah tubuhnya mendadak merinding disko. Tapi kesal dan memalukan juga. Eh tapi lagi, kan hanya pegangan tangan. 

"Ngga usah gatal nya, kelen!"

Lalu melangkah cepat menuju anak tangga, meninggalkan Muda yang cengengesan, dan Irish yang langsung menunduk malu. "Ngga usah kau dengar kak Di. Irinya dia sama kita."

Dari Mata Turun Ke HatiWhere stories live. Discover now