Part Sebelas

30.4K 6.2K 1.5K
                                    

Diana bersemedi di dalam kamar dari sejak ia pulang siang tadi. Kepalanya benar-benar pusing, dan Diana akhirnya menyerah. Di antar oleh Seto yang menyetir mobilnya, mereka berhenti di apotik untuk menebus obat berdasarkan resep yang Devan berikan sebelum sampai di rumah.

Resep dari dokter tetangganya itu ternyata cukup ampuh untuk meredakan sakit kepala dan demamnya. Diana sedikit merasa lebih baik, namun dia malah seperti orang yang tak pernah tidur. Terus menguap dan akhirnya mengalah pada kantuk. Tak perlu heran jika salah satu efek obat adalah mengantuk.

Bangun dari tidur kala mendengar adzan maghrib yang Diana pikir lebih cepat dari biasanya, padahal jadwalnya tak berubah. Namun dirinya saja yang terlalu lelap hingga lupa waktu. Diana mengambil wudhu, setelah adzan berhenti. Menunaikan ibadah di kamarnya, Diana turun dan mendapati Tiar sedang masak di dapur seorang diri. Biasanya dia yang membantu jika ada di rumah. Tapi Tiar tak memanggilnya karena tahu ia tak enak badan. "Muda udah balik nya, mak?"

Melihat kehadiran Diana, Tiar lalu menggeleng. "Sudah enakan badan kau?!"

Diana mengangguk. "Lama baliknya Muda, mak? Dia janji mau ganti lampu balkon, tapi ngga diganti juga! Gelap kali, mak. Ngeri aku." Sambil mendekati Tiar yang membuat opor ayam, Duana mengambil sebuah wortel di dekat sang ibu dan menggigitnya.

"Nanti bapakmu yang ganti! Kau sudah solat belum?"

Diana mengangguk. "Mak! Udah jadi baju seragamnya?"

"Yang mamak sudah jadi! Yang kau kan belum dicoba. Sana dulu, dicoba, kebesaran apa pas?"

"Ya besoklah!" Diana lalu menyeret langkah ke depan TV lalu berhenti saat melihat ayahnya. "Pak! Ganti lampu, pak. Diana ngga berani naik-naik buat gantinya!"

"Kalau ngomong aja kau kayak jagoan, ya? Ganti lampu nggak berani."

Diana langsung melirik sang ibu yang mencibir dirinya. "Mending Diana lah, mak. Mamak buka tutup botol pun nggak bisa!"

"Untuk apa buka tutup botol sendiri! Kan ada bapakmu yang bukakan." Tiar mematikan kompor dan berjalan ke depan TV, duduk di atas karpet, menyaksikan acara dangdut di salah satu stasiun televisi. "Memangnya kau, jomblo. Apa-apa bapak! Apa-apa Muda!"

"Ih!" Diana mengerutkan hidung menatap ibunya yang kian jumawa karena berhasil menggodanya yang tak memiliki daya untuk adu mulut. "Gitu kali mamak, ni!"

Kemudian berbalik menuju anak tangga yang membawa dirinya ke kamar. Suryo sudah lebih dulu ke atas, karena dia enggan mendengar perdebatan sang putri dan istrinya yang biasanya tiada ujung.

"Ini lampunya, pak!" Dengan sebuah kotak kecil berisi lampu yang ia ambil dari nakas samping tempat tidur, Diana mendekati Suryo yang berdiri di balkon yang gelap.

"Duwor eram!" Suryo berbicara sendiri, sambil melihat ke langit-langit balkon. "Kok tinggi sih, Di?"

"Laah yang gae balkon kan dudu Diana to, Pak'e." Diana mencoba berbicara menggunakan logat sang ayah, Jawa. Namun yang ia dapat adalah delikan aneh sang ayah. Bayangkan orang yang terbiasa berbicara dengan logat batak, kemudian berbicara menggunakan logat jawa yang dibuat-buat. Aneh. Dan begitu Diana saat ini.

"Wes jan-jan! Sabendino dijak caturan boso jowo yo ora genah boso jowo, ne!" (Tiap hari diajak bicara bahasa jawa ya ngga jelas bahasa jawanya)

Diana yang mendengar omelan ayahnya dalam bahasa jawa langsung terkekeh. Dia mengerti maksudnya, tapi tak bisa mengucapkannya. Hanya Lella adiknya yang bisa berbahasa jawa seperti sang ayah, karena saat kecil, Lella sudah membiasakan berbicara bahasa Jawa dengan Suryo. Diana dan Muda sih memilih bahasa Indonesia saja yang lebih mudah dipahami.

Dari Mata Turun Ke HatiWhere stories live. Discover now