Part Dua

34.4K 5.7K 363
                                    

Masih dengan sarung tangan penuh darah ketika Devan keluar dari ruang operasi.

Tubuhya lelah, bersandar di dinding lorong sepi rumah sakit, dan membuang semua rasa bersalahnya di sana.

Hari ini, satu nyawa tak sanggup ia selamatkan. Sudah semua kemampuan ia kerahkan, tapi ketika semua ia rasa berjalan dengan sempurna, ia malah keluar dari ruangan untuk memberikan kabar duka.

"Dok, keluarga pasien sudah ikhlas." Seorang wanita menghampiri. Tampak sekali kesedihan di raut wajahnya, sama seperti Devan yang sedang merasa bersalah saat ini.

"Iya." Pria itu berdiri. "Saya pulang, Vee." Dia melepas sarung tangannya. "Nanti kamu telepon saya kalau ada apa-apa."

"Iya dok."

Memasukkan mobil ke perkarangan rumah, karena tak ada orang untuk membukakan pintu garasi. Pria itu segera turun dari Land Cruiser silvernya, segera masuk ke rumah dan dengan langkah lunglai ia menapaki setiap anak tangga untuk menuju kamarnya.

Dalam seminggu ini terjadi begitu banyak kecelakaan yang sebagian besar korbannya harus mencicipi meja operasi. Dan hari ini pasien ke sekian harus meninggal karena berbagai komplikasi.

Dia kurang istirahat. Dan kejadian tadi membuat dirinya mulai merasakan lelah.

Langsung berbaring di ranjang besarnya, ia langsung terpejam masih lengkap dengan sepatu dan Snelli.

"ANJING! GUE UDAH DILANGKAHIN ADIK GUE, YA JUL! TERUS LO MAU IKUT-IKUTAN?! SETAN KAU MEMANG!"

Sontak, sepasang mata Devan terbelalak menunjukkan bola mata yang begitu merah. Dia baru terpejam rasanya. Mimpi bahkan belum sempat menyambut kedatangannya. Dan tetangga sebelah kamar yang tampak begitu susah untuk tak berbicara sekeras toa masjid itu berteriak lantang.

"Shit!" maki pria itu lantas berdiri dengan semua emosi tertahan.

Membuka pintu balkon, tatapan nyalang segera ia berikan pada tetangga yang berpura-pura tak melihat ke arahnya. 

"Bisa kecilkan suaranya?"

Wanita itu melihat ke arahnya dengan sepasang mata bulat yang mengerjap bersama ringisan sungkan. "Maaf, bang," cicitnya.

Tak menjawab, apalagi memberikan senyuman setelah istirahatnya diganggu dan hebatnya ini bukan yang pertama kali. Devan kembali ke kamarnya dan menutup pintu cukup keras.

"Pengganggu," umpatnya.

Melepas sepatu dan Snelli, akhirnya ia memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Teriakan tetangga sebelah benar-benar sudah menghancurkan keinginannya untuk tidur.

*

"Devan?"

Baru selesai berpakaian santai sehabis mandi. Devan berbalik dan menemukan wanita berusia lima puluhan melangkah anggun ke arahnya.

Ima yang selalu tampil menawan meski hanya berada di dalam rumah tersenyum melihat tatapan lelah sang putra.

"Mama ke sini? Kok ngga kasih kabar?" Devan tarik tangan sang ibu, ia kecup punggung tangan wanita itu. "Ke sini sama siapa?"

"Sendiri. Papa kamu ada urusan di Malaysia. Mama ngga mau ikut. Jadi deh tadi malam kepikiran buat ke sini." Sambil melangkah dengan Devano yang menggandengnya ke arah ranjang. "Pas perjalanan ke sini tadi Vee telpon." Duduk di sisi ranjang brrsama sang putra, Ima mengusap lembut bahu Devan. "Kamu sudah berusaha sayang. Selebihnya itu urusan Tuhan."

Tersenyum tipis, Devan mengangguk.

Helaan napas Ima tertiup lembut. "Mama bawa makanan kesukaan kamu, loh. Ayo turun."

Dari Mata Turun Ke HatiWhere stories live. Discover now