24 | Mahramku

Mulai dari awal
                                    

"Abi malah seneng banget. Alhamdulillah, ternyata kamu berjodoh sama Markazmi. Sejak pertama kenal, Abi langsung sreg gitu aja. Sopan anaknya, gentle lagi. Yang paling penting, Azmi itu sholeh, bacaan sholatnya fasih, rajin ke masjid juga, dan InsyaAllah bisa ngajarin kamu ilmu agama yang lebih lagi dan bimbing kamu ke syurga-Nya."

"Aamiin Allahumma Aamiin. InsyaAllah, Abi." Yeri menahan senyumnya. Bahkan sampai sekarang, lantunan surat yang Mark baca saat jadi imam di rumahnya masih terngiang di kepalanya.

"Tapi kamu juga harus tetep menyeimbangkan diri sama suamimu. Dalam hal kecintaan pada Allah dan Rasulnya tentu. Jangan sampai cinta kamu sama Azmi lebih besar dari pada cintamu sama Allah, ya. Naudzubillah, Nak. Mudah-mudahan kamu di jauhkan dari hal itu, ya!"

"Iya Abi, Aamiin. InsyaAllah, Riana bakal jadi istri yang patuh dalam agama sama suami."

Abi mengangguk, menyesap kopinya dan menatap bunga mawar yang sedang mekar di halaman rumah. Seulas senyum tersunggging di wajah pria paruh baya itu.

"Abi tau, hari itu pasti akan tiba."

Yeri menatap abi yang pandangannya masih menerawang ke arah bunga-bunga mawar cantik yang menghiasi halaman rumahnya. Dari tempatnya, ia dapat melihat raut wajah yang memendam kesedihan di parasnya yang kian berkerut.

"Hari di mana putri kesayangan Abi menyandang status seorang istri. Bukan lagi putri Abi." Suara abi bergetar dan membuat tubuh Yeri menegak, menatap sang Abi dengan mata yang ikut berkaca.

Yeri tahu, meski abi selalu mendesaknya untuk segera menikah, namun abi tentu masih belum rela melepasnya.

"Bunga mawar itu dulunya cuma kuncup. Dan sekarang udah mekar, dan besok, bakal umi petik buat buket bunga kamu!" Abi menoleh dengan senyum tertahan. Menatap wajah Yeri yang sudah mulai menahan tangis.

"Dan kamu, bunga mawarnya Abi. Abi yang jagain kamu dari sebelum lahir, Abi nimang-nimang kamu, bangga-banggain kamu sebagai putri paling cantik di dunia ini, putrinya Abi. Ngajarin kamu ngaji, sholat, sekolahin kamu. Meski Abi gak tau gimana cara umi ngebesarin kamu sampai jadi mawar merah cantik kayak sekarang ini, karena Abi cuma pupuk. Yang mendukung tumbuh kembangnya kamu. Abi cuma pestisida, yang membasmi hama di sekelilingmu."

Air mata itu turun tanpa komando dari wajah Yeri kala bola mata sang Abi mulai basah. Terlihat begitu jelas sebuah kesedihan mendalam di wajah penuh kerutan sang abi. Yeri tak pernah tahu jika sang abi yang selalu serius dan bercanda sesekali itu bisa seemosional ini. Padahal, ia sempat berpikir jika abi tak terlalu sedih ketika ia menikah nanti.

Abi tersenyum. Meraih lengan Yeri yang tersemat cincin perak di sana dan mengusapnya lembut.

"Tapi Abi bangga punya kamu. Abi bangga punya putri sholihah kayak kamu yang istiqomah nutup aurat, buat jaga-jaga takutnya Abi di lalap api neraka kalau kamu gak nutup aurat. Meski hafalan surah mu belum sampai tiga puluh juz, tapi Abi juga bangga, kamu berusaha ngasih Abi dan Umi mahkota kemuliaan di akhirat nanti. Abi bangga ngebesarin putri cantik Abi."

Hujan di wajah Yeri kian deras. Di satu sisi, ia masih selalu merasa kurang. Ia belum bisa menjadi apa-apa, belum ada hal yang bisa di banggakan, ia masih terlalu sering merepotkan orang tua. Namun hanya dengan membesarkannya, abi saja sudah bangga? Betapa lapangnya hati seorang ayah?

"Hari-hari kamu di pesantren dulu, Abi rindu. Abi selalu rindu senyum secerah matahari kamu. Tawa manis kamu dan celotehan kamu setiap kami berkunjung. Setiap malam, Abi selalu berdo'a, supaya putri Abi memperoleh ilmu yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Ada suatu kejadian di mana Abi ngerasa bersalah ngirim kamu ke pesantren sejak dini. Tapi Abi pikir lagi, itu yang terbaik buat kamu. Dan hasilnya, Alhamdulillah Abi puas banget. Abi bersyukur banget."

Melamarmu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang