Ia duduk di tepi ranjang, menatap boneka panda pemberian Mark sendu. Perasaannya campur aduk. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menerima lamaran selanjutnya. Dan sekarang, ayahnya sudah merencanan perjodohan dengan anak temannya yang lulusan Gontor itu. Jadi tak ada lagi alasan baginya untuk tak mengikuti alur hidup ini.

"Wassalamu'alaikum, Mark. Mu-mungkin, kita tidak berjodoh."










***










"Nyesel gue ngikutin Jundi," ucap Alvano saat ia tiba di pos ronda.

Kini pemuda tampan itu, sudah bukan anak SMA lagi. Melainkan mahasiswa perguruan tinggi di Bandung. Kelimanya memutuskan untuk tidak merantau. Dan entah suatu kebetulan atau keberuntungan, mereka berada di Universitas yang sama-meski berbeda fakultas.

Dan sampai sekarang, mereka masih memanfaatkan pos ronda komplek sebagai tempat kumpul di hari libur.

"Kenapa sih?" tanya Zainal keheranan sembari mengambil bubur ayam dari kantong keresek yang di bawa Alvano.

"Masa katanya ada jalan pintas, gak taunya cuma ngambil jalan muter. Kan bensin gua abis," keluhnya sembari memakan cilok milik Iyang.

"Ya dari pada kita lewat jalan biasa kena tilang?" bantah Jundi tidak terima.

"Mama bilang juga apa, pake helm!" ucap Iyang, bertingkah seperti ibu-ibu. "Kalian sih nakal, udah tau jalan sana rawan tilang, masih aja gak nurut sama Mama! Mama gak suka, ya!"

"Bacot Iyang!" Haikal bergidik dengan tingkah Iyang yang semakin menjadi.

"Ih Ayah~ congornya nakal, ya!" Iyang mendorong tangan Haikal yang hendak menyuap cilok ke dalam mulutnya, akibatnya cilok itu jatuh ke lantai.

Malah cilok terakhir.

"Pegangin gua, pegangin gua!" Dia mencengkram lengan Zainal dan Alvano di sisinya untuk tidak menghajar Iyang.

"Yang, jangan gitu!" lerai Zainal-tumben, "kayak gitunya ntar malem aja sama gue di lampu merah, dapet duit, hehe!"

"Ko-ko-ko-kolpok!" sahut Iyang di iringi tawa keras.

Jundi mengurut keningnya. Sudah lelah ia bersahabat dengan jelmaan manusia-manusia halus seperti mereka. Harusnya dia masuk UIN, di karenakan UKT yang di keluarkan lumayan besar, pada akhirnya ia memilih daftar ulang di negeri. Dan berakhirlah dirinya di fakultas yang sama dengan Zainal dan Iyang.

"Capek, Jun?" tanya Alvano, menahan tawanya.

"Jangan tanya, No. Si Jundi udah stres ngeliat duo cabe beraksi!" Tawa Haikal menggelegar pada akhirnya.

"Pusing gua, di kampus di katain pawang mereka mulu!"

"Mas Jundi juga pusing, soalnya mba Rausya di deketin kak Evan!" celetuk Iyang. Memangnya mulutnya ini mulut ibu-ibu.

Haikal dan Alvano melotot, kaget. "Kak Evan ketua BEM bukan?"

Iyang dan Zainal kompak mengangguk. Sementara Jundi pura-pura tidak mendengar.

"Lah Jundi mah kalah telak atuh! Kak Evan gantengnya ke mana-mana! Jundi mah apa atuh, cuma remahan bubuk rengginang dalem kaleng khong guan!" Kurang ajar Haikal.

"Ko-ko-ko-kolpok!" Lagi-lagi Iyang.

Alvano hampir saja tersedak cilok yang di makannya menertawakan wajah terbully Jundi. Namun karena ponselnya terus berdering, ia harus menunda mengunyah potongan cilok terakhir.

"Abang Mark nanyain kabar nih!" ucap Vano, memecah suasana.

"Nanyain kabar mulu tiap hari, kapan datangnya," celetuk Zainal.

"Gak tau nih, kita kan kangen traktirannya!"

"Bang Mark brewokan gak sekarang?"

Haikal terdiam untuk sesaat. Mengingat percakapan keluarganya semalam.

"Abang masih sering nanyain kabar teteh dari lo?" pertanyaan Haikal membuat mereka bungkam. Pasalnya, nada suara cowok itu juga berubah serius.

Vano melirik teman-temannya. Suasana mendadak serius begini, dan dia kurang nyaman dengan hal itu. "Yahhh, dia kan emang suka nanyain kabar kita."

Haikal menunduk. "Bilang sama abang, buat berhenti nanyain teteh."

"Kenapa?"

Helaan napas dari Haikal membuat keadaan semakin tegang. "Teteh mau di lamar hari minggu ini. Dan udah pasti, teteh gak bakal nolak."

Zainal tersedak cilok yang tengah di makannya.










***














Mark membaringkan tubuhnya di ranjang begitu pulang dari kantor. Ia sangat lelah. Mendekati pemilihan kepala direksi kantor pusat membuatnya semakin sibuk. Tak ada waktu untuk main-main, bahkan ia lupa kapan terakhir kali menyentuh kameranya.

Ini juga bentuk tanggung jawabnya atas keputusan yang ia ambil untuk tidak menikahi gadis yang di ta'arufnya. Eyangnya memberinya syarat agar dirinya terpilih menjadi kepala direksi tanpa garis keturunan, ia harus ikut bersaing dengan pamannya. Jika dia berhasil, eyang akan mengizinkan Mark menikahi perempuan pilihannya. Tanpa kekangan keluarga. Dan tentu jika gagal, mau tidak mau Mark harus mengikuti aturan keluarga.

Perjodohan.

Karena itulah Mark berusaha sekuat tenaga. Mengerahkan segala hal yang bisa ia lakukan agar dapat membawa sang gadis pujaan menjadi bagian dalam hidupnya.

Di sini, ia tengah berjuang. Dan dua hari lagi, ia akan tahu hasil dari perjuangannya.

Mark tersenyum tipis, membuka laptopnya dan melihat file yang ia beri nama "Kota Cinta". Semua itu adalah foto-foto yang di ambilnya sejak hari pertama hingga hari terakhir di Bandung. Dan entah kebetulan atau apa, foto pertama adalah foto Yeri yang tengah menunduk dengan balutan gamis ungunya. Foto terakhir, ia ambil tanpa segaja saat mereka berada di rest area menuju Malang. Gadis itu tengah berjalan sambil tersenyum pada kamera dengan background masjid di belakangnya. Meskipun sebenarnya, dia tersenyum pada Rausya yang berdiri tak jauh darinya.

Rindu menyeruak mengisi rongga dadanya. Mark tahu betul obat dari segala kerinduan ini adalah sebuah temu. Namun keadaan adalah rintangannya. Jika tidak begini, mungkin sudah dari dulu Mark datang melamarnya. Menjadikan Yeri pendamping hidupnya.

"Sebentar lagi, Yeri. Tolong bersabar!"

Dia tidak terlalu yakin jika Yeri akan menunggunya. Namun Mark tetap yakin untuk berjuang, lepas dari segala kekangan keluarga.












***

| How are you? :')

Melamarmu Where stories live. Discover now