29. Butuh Tumpangan

515 99 25
                                    

"Aaarghh, runyam deh. Runyam!" Lian yang kebetulan menyaksikan apa yang terjadi seketika mengeluh. "Nai, lo mesti kejar Arzaki!" katanya sambil bangkit dari bangku.

"Apa?" Naira menatap Lian tak mengerti. "Kenapa... gue harus ngejar dia?" katanya ragu-ragu.

"Kayaknya gue tahu alasan Arzaki datang ke sini. Pokoknya lo mesti kejar Arzaki dan jelasin apa yang barusan terjadi," Lian mendekati Naira, lalu mencekal tangannya. "Bima cerita sama gue kalau Arzaki berencana baikan sama lo. Jadi kedatangan dia ke sini pasti ada hubungannya sama hal itu."

Naira termenung menatap lantai, tampak bimbang untuk mempercayai ucapan Lian atau tidak.

"Aduuh, lo lama! Gue tahu lo masih suka mikirin Arzaki. Lo mesti gunain kesempatan ini sebelum semua jadi berantakan. Gue juga udah terlanjur janji buat bantuin lo berdua baikan," Lian dengan tak sabar melepas Naira lantas berlari menuju pintu. "Arzaki!" berikutnya ia berteriak ke arah luar. "Tunggu sebentar! Jangan buru-buru pergi! Naira mau ngomong sesuatu sama lo, nih."

"Hakh?" wajah Naira langsung pucat pasi mendengar teriakan Lian. Apalagi menyadari anak-anak sekelas melihat ke arahnya. Terutama Dylan dan Choki. Juga tak ketinggalan Libra yang baru saja duduk di bangku pojokannya.

"Tuh, udah berhenti, Nai. Cepetan keluar!" dari depan pintu Lian melambaikan tangan. "Arzaki udah nungguin, lho."

Walaupun terasa berat tapi Naira tak punya pilihan lain selain melangkahkan kakinya. Jari-jari tangannya bergerak-gerak tak tenang. Ia kelihatan tak yakin. "Terus gue mesti ngomong apa, Li?" bisiknya gugup di ambang pintu.

"Ngomong apa aja, deh. Bilang kalau barusan lo cuma lagi ngerjain Libra. Ayo, gue doain urusan lo berdua cepat beres!" Lian menepuk kedua pundak Naira sebagai bentuk dukungannya. Setelah itu ia memutar badan anak itu dan mendorongnya keluar kelas.

Dada Naira berdebar gelisah. Ia melihat Zaki berhenti menungguinya di perbatasan antara kelasnya dengan kelas 12 Bahasa 2. Zaki hanya menatap udara saat Naira tiba di hadapannya.

"Ehm, anu...," Naira mengepalkan tangan, berusaha melawan keresahan hatinya. Degup jantungnya semakin keras. "Gue barusan...."

"Barusan kenapa?" potong Zaki, membuat Naira sontak menatapnya.

"Barusan gue cuma lagi ngerjain Libra," ucap Naira, meluncur begitu saja. "Dia masih suka gangguin gue, maksa buat nurutin kemauannya. Jadi barusan gue sengaja bersikap sok manis di depannya, supaya dia kesel terus pergi."

Hening beberapa detik di antara keduanya.

"Libra paling sebel kalau gue bersikap kayak gitu. Katanya keliatan lembek. Dia benci orang lembek," lalu Naira melanjutkan perkataannya.

"Jadi, lo manggil gue cuma buat ngomongin itu?" kata Zaki tiba-tiba, menyentakkan kepala Naira. "Lo nggak perlu repot-repot jelasin semua itu sama gue. Terserah lo sama Libra mau gimana," sejenak ucapannya terhenti. "Di antara kita kan udah nggak ada ikatan apa-apa. Jadi apapun yang lo lakuin bukan lagi jadi urusan gue."

Seperti mendapat tamparan keras, Naira sampai hanya bisa mematung mendengar perkataan itu. Hatinya pun terasa nyeri, seperti ditusuk ribuan jarum.

"Ah, iya. Lo bener," ucap Naira beberapa saat kemudian, berusaha tak terdengar bergetar. "Maaf kalau gitu, udah buang waktu lo buat ngomongin sesuatu yang nggak guna," lanjutnya lantas cepat berbalik untuk kembali ke kelas.

Bodoh, sesal Naira dalam hati. Ia menggigit bibirnya sendiri sampai terasa perih. Ternyata Zaki belum berubah. Selalu saja mudah mengambil kesimpulan. Selalu saja mudah marah. Selalu saja salah paham. Selalu saja merasa sebagai satu-satunya pihak yang tersakiti. Tapi kenapa? Naira meratapi dirinya lagi. Kenapa meskipun ia sudah tahu Zaki orang seperti itu ia masih saja mengharapkannya? Kenapa Zaki tetap menjadi satu-satunya cowok yang mengisi relung hatinya?

Princess Pink's BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang