"Yaudah sekarang mau sarapan gak? Aku traktir bubur ayam. Mau?" tanyanya.

Aku tidak menjawab, melainkan hanya mengulurkan tanganku. Dia seolah paham langsung menautkan jari jemarinya dengan milikku dan membawaku berjalan beriringan bersamanya.

Ah indahnya.

***

Sabtu ku selalu dipenuhi dengan dia, iya karena sebenarnya aku masih anak SMA dan dia satu tahun diatasku jadi hari kosongku hanya sabtu dan minggu. Hari sabtu selalu aku abdikan padanya, dia pria tampan yang dekat denganku. Jangan bertanya lebih, aku tidak tau cara menjelaskannya. Yang kutau hanya kami dekat.

Dia menepuk kepalaku singkat, seperti puk puk anjing peliharaan:). Dia selalu gemas katanya ketika melihatku makan bubur ayam. Sebenarnya tidak ada yang aneh dan berlebihan menurutku, aku hanya terkadang ya excited sama bubur ayam.

-Bilang aje rakus lu kalau sama buryam-akoh.

Astagfirullah, suara siapa itu. Ya gimana dong, aku memang semenggemaskan itu.

Ew.

Dia menyeruput teh hangatnya, selesai dengan semangkuk bubur ayamnya. Aku memandangnya memelas.

"Mau nambah?" tanyanya. Aku tersenyum manis. "Nggak kok" kataku.

"Trus?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya. Yaallah bang jangan gitu, adek gak kuat.

"Eng, gapapa" kataku langsung merasa gugup. Aku juga lupa tadi ingin meminta apa.

"Mas bubur ayamnya satu lagi" katanya pada penjual. Aku melongok, siapa yang minta.

"Hah? Untuk siapa?" tanyaku karena seumur hidup-tidak-selama mengenalnya aku tidak pernah melihatnya serakus ini.

"Kamu lah, siapa lagi" katanya lagi membuatku melongo. Iyasih sebenarnya tadi tu sempat terbesit mau minta lagi cuma kan malu, cewek kok makannya gini banget.

"Nggak usah, aku udah kenyang"

"Aku tau kamu kalau udah senyum-senyum manis gajelas gitu" katanya diiringi kekehan kecil di akhir kalimatnya.

Aku cengengesan malu. "Bungkus aja ya, aku udah kenyang banget" iya gatau kenapa tau-tau kenyang banget gitu rasanya.

Dia mengangguki lalu meminta yang tadi dibungkus saja pada penjual.

"Udah? Kita ke rumah aku dulu ya?" aku menganggukkan kepalaku.

Sebenarnya aku tidak pernah suka gagasan ini karena ya aku malu terus-terusan bertemu keluarganya. Tidak-tidak aku tidak malu, hanya saja gugup, segan bercampur aduk.

***

"Assalamualaikum" ujarnya masuk duluan dan aku ikuti di belakangnya.

"Dara, sini sayang" ah itu mamanya. Aku mengangguk dan mendekat dan mengulurkan tangan untuk salim dengan mamanya Nata.

"Tante tadi masak nasi goreng, kamu mau?" tawarnya padaku.

"Dara udah makan bubur ayam sama Mas Nata, Tante" kataku. Sebenarnya aku tidak memanggil Nata dengan embel-embel 'Mas'  tapi karena ini di depan para tetua sudah pasti aku akan dimarahi karena dianggap tidak sopan. Jadi ya terpaksa membiasakan diri.

Berbeda kalau dirumahku, karena darahku tidak sepenuhnya Jawa jadi cukup jarang bagiku memanggil seseorang dengan sebutan 'Mas', so jangan bingung jika panggilanku bisa saja berubah-ubah.

Aku duduk bersama tante Andini-mamanya Nata- di ruang keluarga sambil menunggu Nata membersihkan dirinya. Aku lirik jam dinding sudah pukul sepuluh pagi. Ah wajar dia langsung mandi, biasanya kalau masih kepagian dia akan mengantarku dahulu baru pulang untuk bersih-bersih.

BAMANTARAМесто, где живут истории. Откройте их для себя