Part 13

3.2K 126 16
                                    

-Mimpi yang sama terulang lagi-




Siang ini aku pulang sekolah dengan raut wajah yang tak bahagia. Karena hari ini ulangan harian dadakan dan hasilnya harus ditandatangani oleh orang tua.

Kakiku tak berjalan ke arah rumahku melainkan ke arah rumah saudaraku yaitu rumahnya Gracia.

Sepanjang perjalanan aku hanya berdiam walaupun Gracia tetap mengajakku mengobrol bersama dengan Sintia.

Ya, rumah Sintia dan Gracia saling satu arah walaupun rumahnya berbeda sedikit jauh. Rumah Sintia masuk gang pertama sedangkan rumah Gracia harus berjalan sedikit jauh lagi hingga menemukan gang ke dua disebelang kanan.

"Grac, Git, duluan yah." Ucap Sinta yang berbelok ke arah kanan memasuki gangnya.

Aku dan Gracia hanya mengangguk lalu kembali berjalan.

"Git, kenapa sih dari tadi diam terus." Kata Gracia menatap kearahku.

"Nilai Gita dapat nol, mba." Jawabku jujur karena di jalan sudah tak ada Sintia.

"Astaga." Pekik Gracia dengan syoknya. "Pelajaran apaan yang dapet nol?" tanya Gracia dengan cepat.

Aku menghembuskan napas gusar sebelum membalas ucapan Gracia. "Matematika." Kataku pasrah.

"Gita, astaga, terus nanti kalau ketauan orangtua kamu gimana?" ucap Gracia yang kini khawatir.

"Nah itu dia, masalahnya ini tuh ulangan harian dan besok harus dikumpulin lagi tapi harus dengan tanda tangan orangtua. Mba tahu kan yang tanda tangan tiap ada apa-apa tuh bukan Bunda." Kataku lalu mengehembuskan napas dengan kasar. "Tapi Ayah." Lanjutku histeris.

"Sumpah yah, lagian kenapa sih bisa sampai dapat nilai nol kaya gitu, Gita Nadiva." Kata Gracia yang sedang menenangkan diri. "Mba gak habis pikir sama kamu." Lanjut Gracia sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Masalahnya aku juga gak habis pikir sama diriku sendiri kenapa bisa sebodoh ini." Timpalku kepada Gracia.

Kita berdua terus berjalan hingga sampai di rumah berwarna hijau cerah yang baru di cat minggu lalu dengan berlantai dua.

Sekarang hanya butuh menyiapkan waktu untuk siap dan tidak siap mendapat omelan dari Ayah. Dengan bermain bersama Gracia dan juga adiknya yang bernama David yang masih berusia 5 tahun.

Hingga siang berrganti sore dan sore berganti malam. Rumah yang aku singgahi sekarangpun berbeda dengan isian rumah yang berbeda pula.


"Assalamualaikum, Gita pulang." Ucapku ketika memasuki rumah.

"Walaikumsalam." Ucap Bunda yang kini terlihat sedang menyiapkan makanan.

"Gita udah makan?" tanya Bunda kepadaku.

"Udah di rumah Mba Gracia." Jawabku yang dibalas oleh anggukan Bunda. "Ya udah Gita mau belajar yah, Bun." Lanjutku yang langsung duduk ruang keluarga yang tak jauh dari meja makan.

Tak lama Ayah membuka pintu dan langsung terlihat Bunda langsung menyuruhnya untuk makan, lalu menatap ke arah Gita yang sedang belajar.

Jantungku sudah berdetak tak karuan, memompa darah dengan begitu cepatnya. Hingga konsen belajarku berkurang drastis.

Buku IPA yang aku pegang kini berganti menjadi buku Bahasa Indonesia, tapi tetap saja detakan jantung tak pernah berhenti begitu saja. Seakan-akan aku sudah ketukan sebelum memberitahukannya kepada Ayah.

"Ayah sudah selesai makan, ingin melihat nilai sekolah kamu hari ini." Ucap Ayah yang ada dihadapanku dengan suara tegasnya.

Aku tak berani menjawab, hanya mengangguk dan mengeluarkan beberapa buku.

Ayah membukanya satu persatu, mendapati angka 80 dan juga 90 didalam setiap bukunya. Lalu, Ayah meletakkan kembali bukunya tepat di depan aku.

"Masih ada yang lain lagi selain itu?" tanya Ayah.

Aku mengangguk lalu mengeluarkan kertas dari dalam saku kantung celana bermainku. "Tapi Ayah jangan marah." Kataku lirih sebelum memberikannya kepada Ayah.

Ayah langsung mengambil kertas itu dan membukanya. Dia terkejut dan wajahnya sudah menahan amarah. Aku tak tahan lagi, akhirnya tangisanku pecah dengan terus mengucapkan kata maaf ke Ayah.

Plak... plak... plak... Ayah terus memukul bagian badanku.

"Kamu itu kenapa bodoh sekali." Ucap Ayah yang masih Marah.

Plak....

Kali ini lebih sakit karena aku lihat Ayah sudah memukulku dengan gantungan baju.

Plak....

"Mangkannya jangan kebanyakan main. Belajaran." Ucap Ayah dengan nada tingginya.

Plak... Plak... Plak...

"Maaf." Kataku dengan terus terisak.

Plak... Dug...



Seketika aku langsung membuka mata dengan napas memburu dan jantung yang masih berdetak kencang. Aku langsung melihat sekeliling untuk melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 05.30.

Aku langsung duduk di pinggir kasur dengan frustasinya. "Shit... kenapa harus mimpi itu lagi sih." Ucapku yang sambil mengacak-ngacak rambut.


Beranjak dari tempat tidur, mengambil handuk dan masuk kamar mandi. Berharap segera pergi dari rumah ini secepatnya lalu menyibukkan aktifitas di luar sana.





Thanks banget buat kalian udah ngikutin aouthor sejauh ini

Thank you so much guys.



-Senin pagi jangan lupa tersenyum untuk diri sendiri-

Gita Nadiva (END)Where stories live. Discover now