ke sembilan belas

2.7K 117 0
                                    

Jena dan pasangannya berjalan hingga ke parkiran, Zavi kusuruh untuk mencari mobilnya dan menjemputku.

karena ia memarkirkannya cukup jauh.

mobil yang dimasuki oleh Jena mulai melaju. dan Zavi membuntuti tepat dibelakang.

"kamu lagi ngikutin siapa sih?"

"Jena."
mendengar nama itu Zavi mendengus.

"masih tertarik soal dia?"

"bukan gitu. eh bukannya dia kena kasus itu ya?"

Zavi berfokus pada jalanan. "udah dicabut laporannya. pihak korban udah diberi uang damai."

"lha? yang ngasih uang siapa?" tanyaku penasaran.

Zavi mengangkat bahunya. " nggak tau."

jangan-jangan pacarnya yang sekarang. soalnya ortu Jena nggak mungkin bakal ngebebasin anaknya semudah itu buat ngasih uang damai.

usaha mereka kan lagi koleps.

"udah ikutin terus ya." ujarku setengah memohon.

"tapi aku laper."

"nanti kubeliin makanan."

Jena menghentikan mobilnya di sebuah klub malam. Victory Club Night.

tempat ini emang cukup sering kunjungi Jena, bahkan waktu ia masih mengandung Olla pada masa semester awal.

"mau makan disini?" kata Zavi tidak yakin.

"ya udah puter balik aja. kemana kek ngikut dah."

Zavi tertawa memperlihatkan giginya yang rapi, bak model pasta gigi. "pasrah amat neng."

sampailah kami di rumah makan Gudeg Jogja.
dan ini cukup jauh, karena baru saja Zavi melenggangkan mobilnya nyaris memasuki arah Jogja, padahal disekitar titik putar balik kami, Tembalang.
ada bejibun rumah makan berbagai daerah.

aku melirik jam tangan.
"ini udah setengah 5 sore." ujarku pelan.
sementara Zavi sudah melaju kencang memesan makanan kesukaannya.

kalau nggak suka. ngapain jauh-jauh kesini. bawa anak orang pula.

"jauh amat bang makannya. besok kalau mau makan rendang kudu ke Padang dulu? apa kalau pengen mie Aceh kudu ke sana dulu?" sindirku pelan.

Zavi terkekeh. "mumpung sama kamu."

eh buset! emang kenapa kalau sama aku?

seorang pelayan menyajikan makanan beralaskan daun pisang dan piring dari rotan.
aromanya khas sekali kota pelajar itu.

"jangan lupa berdoa Zav." ujarku mengingatkan.

"iya." kemudian ia menengadahkan tangan, seraya memejamkan mata. "amiin."

ia mulai memilih berbagai lauk dan meletakkannya pada piring, ia juga menambahkan nasi hangat ditepinya.

"Le. kapan-kapan kaya gini lagi boleh?"

"maksudnya?"

aku melihat Zavi tersenyum, dengan menundukkan kepala sedikit.

dia malu?

"hari ini banyak hal nggak terduga terjadi. aku sempat berpikir, kamu orangnya sulit. dan beda." ia diam sejenak. "tapi aku rasa, aku nggak bisa membandingkanmu dengan yang lain."

"yang lain itu siapa? maksudmu pacarmu?"

Zavi mengibaskan tangannya. "bukan. aku nggak punya pacar."

"lha terus yang kemarin jalan sama kamu itu? bukannya calon ibu Bhayangkari?"

Zavi mencoba mengingat sosok mana yang menjadi arah pembicaraanku. "oh yang itu." ia terkeken pelan "dia mah nggak tau siapa. aku juga ikut semacam blind date. dikenalin sana sini. tapi belum ada yang cocok."

"padahal dia good looking lho." pujiku. "emang dia mahasiswa ya?"

"dokter muda."

ohok!!! serius lo? nolak dokter muda?

"tapi kami sepertinya belum berjodoh." Zavi tidak melanjutkan kata-katanya lagi.

"nggak papa Zav. kamu kayanya lebih junior soal blind date daripada aku. belum pernah kesiram air pas lagi kencan kan? apa dijambak?"

Zavi menggeleng. "kamu pernah?"

"pernah sekitar... hmmm.... 3 kali."

ia tersedak mendengarnya bahkan nyaris terbatuk.

"minum nih." aku menyodorkan segelas air putih.

"kenapa kok sampai begitu?" tanyanya penasaran.

"ya mungkin ia nggak jujur sama profil yang dituliskan sebelumnya. Mamaku cukup gencar buat nglakuin blind date sama beberapa anak relasinya." ucapku sedikit terbuka.

tapi aku tentu nggak akan cerita perihal aku nyaris kencan dengan bawahan Zavi yang membuatku ditolak sama kedua anak plontos itu.

bisa malu sampai anak cucu kalau sampai ketahuan.

"kamu nggak minat buat pacaran?"

"nggak. sama sekali enggak." pandangan Zavi berubah menjadi sedikit iba.

"kenapa?"

"karena aku nggak ingin membuat orang yang kucinta melakukan dosa terlalu lama." aku menimbang sesaat "menikah jauh lebih indah dan berkesan. karena disaksikan Tuhan, Zav."

Jangan Tolak Aku - Tamat-Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora