ke lima belas

2.8K 122 2
                                    

Tuhan. maafkan jika selama ini aku terlalu menikmati kesendirianku.

tuhan maafkan jika aku ingin lepas dari genggaman mereka

aku ingin menepis bahwa semua yang ia katakan adalah nyata

kepalaku tertunduk begitu dalam di atas ranjang.

Mama mengintip di celah pintu yang terbuka.

"Ada tamu Le."

buru-buru aku menghapus airmataku yang mengucur ketika berdoa tadi.

"Sebentar ma." balasku pelan.

sebelum keluar aku melihat bagaimana penampilanku.

not bad, Le.

"Jena?"

ibu satu anak ini mengenakan mini dress dan penampilan makeup berantakan.

"darimana kamu?" tanyaku.

tapi bau alkohol Jena terlalu menyengat. dan Mama keluar dari dapur membawa segelas air putih.

kemudian ia siramkan pada Jena yang masih teler.

"Bangun kamu Jen! udah jadi ibu! masih aja ngrepotin Aleana!!" nada bicara mama makin meninggi. "mau sampe kapan kamu seenak udel begini!! mabok! kelayapan!! mau jadi apa kamu!!

aku berusaha menenangkan Mama. "Udah ma. Jena harus sadar dulu."

belum selesai aku melerai Mama yang marah-marah pada Jena. ada suara dari interkom rumah.

'permisi! Mbak Jena!!' terdengar seperti suara laki-laki.

'iya?' tak lama kemudian aku berusaha membukakkan pintu.

dugaanku benar, tiga polisi berseragam berdiri tepat didepanku. dan salahsatu dari mereka adalah Zavi.

"Maaf. saya mau mencari mbak Jena. menurut rekaman dari CCTV. terduga melarikan diri disini."

aku mengerenyitkan dahi, "terduga apa pak?"

"Mbak Jena telah mengemudikan kendaraan bermotornya hingga menyebabkan kecelakaan lalu lintas di ruas jalan Sudirman."

what!! are serious?

Mama yang masih menyadarkan Jena jadi tambah jengkel.

"Bangun Jen!!! BANGUN JENAAAA!!!!" Mama meremas baju atas Jena dengan kasar.

kedua polisi itu kemudian masuk dan membawa Jena turun. sementara Zavi melewatiku seakan kami tidak pernah bertemu sebelumnya.

"Pak Zav."

ia juga tak merespon panggilanku.

"Jika anda berkenan tolong hubungi keluarga saudari Jena. sementara, ia akan kami bawa ke Markas untuk dimintai keterangan." polisi pertama menyerahkan sebuah surat lalu membopong Jena keluar dari Apartement.

***

Jena duduk dibalik jeruji dengan wajah sembab habis menangis.

aku duduk kursi panjang sembari membopong Olla, dan menemani Diaz yang sedang dimintai keterangan oleh Zavi.

Mama marah besar saat mengetahui, aku lebih memilih ijin dan menemani 'sahabat lama' daripada menyibukkan diri dalam kerja dan blind date.

selama 4 jam Diaz dimintai keterangan, dan aku nyaris terlelap.

"duduk sini Le." Suara Zavi membangunkanku.

jujur, aku tak berani untuk membalas ucapannya, sikapnya terakhir kali padaku membuatku sedikit diabaikan.

merasa bahwa moment kami berdua sudah lenyap tak tersisa.

tapi? siapa aku sampai berhak menjudge ia seperti itu.

toh moment itu hanya sesaat dan tak berkesan.

"ternyata kamu terlibat dengan mereka." terka Zavi. dan senyuman 'mengejek' itu tersungging dibibirnya.

"anda kenal saya?" balasku tak kalah pedas. "maaf, saya mau keluar sebentar."
aku berdiri dan membopong Olla keluar.

namun Zavi menahanku,"ternyata kamu bukan orang cerdas. yang belajar dari kesalahan."

"maksud anda apa!" lama-lama aku jengkel juga dengan sikap Zavi yang arrogant ini. "anda ini siapa? berhak sekali menuduh kehidupan saya!"

ia mencoba melepaskan Olla dari gendonganku dan meletakannya dipangkuan Diaz.

"ikut Le!"

Jangan Tolak Aku - Tamat-Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum