Rama berbalik spontan.
"Chelly? Kamu sudah baikan? Jangan keluar dulu, istirahat saja!"
"Aku baik-baik saja, Rama." Chelia mengambil tempat di sebelah Rama. "Kamu sedang apa di sini?"
Rama memandang langit yang mulai gelap, mempertegas bintang-bintang yang bertaburan di atas sana.
"Sedang melihat bintang, siapa tahu ada yang jatuh."
Chelia tersenyum sedih dan menunduk. "Kamu ingin buat permintaan?"
"Bukan, Sweetheart. Kenapa memohon pada bintang bila kita punya Tuhan pencipta alam semesta." Rama mengangkat kepala. "Aku ingin mencari bintang jatuh untuk kuberikan pada seseorang agar dia tidak sedih lagi."
"Siapa?"
"Yang barusan bertanya."
Chelia memalingkan wajah menahan air mata, antara sedih dan haru mendengarnya.
"Sweetheart," panggil Rama lembut.
"Ya, Rama?"
"Aku sudah membuat keputusan."
"Keputusan apa?"
Rama menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. "Biarkan saja foto itu tersebar."
Mata Chelia membulat.
"Aku akan mengakuinya."
"Maksud kamu apa?" tanya Chelia dengan suara bergetar. Matanya mulai berkaca.
"Begini Chelly, kita tidak mungkin membuat Rean mundur dari pencalonan. Kita menurut sekalipun, foto itu pasti akan tetap dijadikan senjata oleh orang-orang licik itu untuk ancaman lain." Rama menatap Chelia lekat-lekat. "Tapi aku juga tidak ingin kamu dikeluarkan dari kampus. Kamu mahasiswi yang berprestasi. Jadi biar aku saja yang menanggung semuanya."
Chelia bergeming, masih berusaha mencerna maksud dibalik perkataan Rama.
"Aku akan mengaku memaksamu melakukan hal itu agar kamu bebas dari tuduhan dan bisa lanjut kuliah."
"Rama ...." Chelia menatap Rama tidak percaya, air matanya mengalir deras.
"Katakanlah bahwa sebenarnya kamu merasa tertekan selama berteman denganku. Katakan bahwa aku selalu berbuat tidak sopan dan sering menyakitimu. Dengan begitu orang-orang akan percaya-"
"Cukup!" Chelia memotong ucapan Rama. Terlalu menyakitkan baginya mendengar itu. "Bagaimana mungkin?! Bagaimana mungkin aku mengatakan kebalikan dari semua yang kamu lakukan?!" ujarnya dengan terisak.
"Tapi, Sweetheart ...."
"Jangan egois Rama!" Chelia memukul-mukul pundak Rama. "Jangan ... hiks! Jangan menangggung semua sendiri!"
Rama spontan meraih Chelia ke dalam dekapannya. "Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, Chelly. Bila pun Kak Arya mempertahankan kita, dia pasti dituding melakukan nepotisme."
"Tidak perlu. Kita tidak perlu pembelaan siapa-siapa." Chelia menjeda dengan tarikan napas pendek dan mendongak pada Rama. "Kita keluar sama-sama saja."
"Chelly, kamu tahu bagaimana kosekuensi untuk mahasiswa drop out, kan? Itu akan sangat merugikanmu."
Chelia menegakkan kembali duduknya. "Aku tidak peduli itu. Sekalipun kita tidak akan diterima di kampus negeri, atau bahkan tidak diterima di mana pun lagi, tidak masalah. Aku lebih memilih itu. Aku tidak ingin lanjut kuliah tanpa kamu."
"Sweetheart ...." Rama merasakan sesak di dadanya. Ia membuang muka dan menyeka air matanya diam-diam.
"Aku juga tidak ingin lanjut kuliah tanpa kalian berdua!" Cassy menghampiri keduanya sambil menghentakkan kaki. Matanya sudah sembab. "Kalau kalian dikeluarkan, aku juga akan keluar!"
Erva mengikut di belakang Cassy, "Benar! Akan kupecahkan semua alat dan instrumen di laboratorium agar dikeluarkan juga!"
Rama terkekeh, matanya kembali berair. "Kamu ini ingin dikeluarkan dari kampus atau mau masuk penjara, Va?"
Erva tidak menjawab dan mengikuti Cassy merangkul keduanya.
Naya dan Edward yang masih berdiri di tepi teras hanya mampu menahan napas sampai suara Arya menyentakkan mereka.
"Tidak akan ada yang dikeluarkan dari kampus."
Arya berjalan menuju bangku taman berbarengan dengan Riva. Naya dan Edward pun mengekor.
Edward memperhatikan Riva yang tampak santai. Di luar ekspektasi, Riva malah tertawa saat melihat foto yang ditunjukkannya. Mata seorang ahli digital forensik memang tidak bisa dikelabuhi. Dalam beberapa detik pertama saja Riva sudah tahu foto tersebut hanyalah rekayasa.
"Tidak akan ada yang dikeluarkan dari kampus. Tidak yang berprestasi, tidak yang nilainya sepanjang rantai karbon," Arya menepuk pundak Chelia dan Rama bergantian lalu mengarahkan pandangan pada Erva, "tidak yang ingin memecahkan alat dan intsrumen juga."
Erva terkesiap dan langsung bersembunyi di balik punggung Cassy. Tingkahnya disambut kikikan Riva dan tawa teman-temannya yang lain.
"Kak Riva ...?" panggil Chelia takut-takut. "Kak Riva sudah tahu semuanya?"
"Bahwa itu semua hanya rekayasa?" Riva membelai rambut Chelia. "Jangan khawatir, Sayang. Teknik murahan seperti itu bukan apa-apa. Itu hanya ilusi optik. Kamu tidak meragukan kemampuan Kak Riva, kan?"
Chelia menggeleng dan memeluk Riva. "Aku hanya takut Kak Riva marah."
"Itu tidak akan terjadi." Riva menoleh pada Rama. "Tentang Rean, biar Kak Riva yang bicara. Rean adalah orang yang rasional, butuh bukti rasional juga untuk menyakinkannya."
"Jadi foto itu bagaimana?" tanya Cassy masih khawatir.
"Kak Riva akan menemukan pengirim misterius itu." Edward memberanikan diri menjawab Cassy.
Cassy pura-pura bersikap cuek dan berbalik pada Riva.
"Kak Riva bisa menemukannya?"
"Ya. Identitas, riwayat hidup, sampai sidik jarinya sekalipun."
"Ukuran boxernya sekalian, Kak!" pinta Rama dengan suara parau, yang kemudian mendapat jitakan dari Arya.
Chelia tertawa ringan. "Bisa begitu, Kak Riva?"
"Bisa! Hebat, kan? Kakaknya siapa dulu, dong!"
"Calon kakak iparnya siapa dulu, dong!" celetuk Rama yang kembali mendapat hadiah jitakan dari Arya.
Riva hanya terkekeh kemudian mengajak mereka kembali ke dalam rumah. Diam-diam ia mengamati Chelia yang mulai terlihat ceria.
Menemukan profil orang lain itu bukan apa-apa dibanding menghapus identitas, Chelly. Seperti yang pernah kakak lakukan untuk ayah.
☕☕☕
TBC
VOCÊ ESTÁ LENDO
Prescriptio☕
Mistério / SuspenseMenjadi mahasiswa farmasi yang super sibuk seolah cobaan yang belum cukup bagi Rama dan kawan-kawannya. Berbagai kejadian misterius terjadi pada orang-orang yang memiliki masalah dengan salah seorang di antara mereka. Ketika persahabatan diuji oleh...
34. Repression☕
Começar do início
