[01] Si Cowok Masjid

15K 497 35
                                    

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamualaikum. Ini cerita pertama Kasev ya. Versi revisi insya Allah lebih baik dari sebelumnya. Mohon kritik dan masukan untuk perbaikan di kemudian hari.

Salam.

Padang, 2014

”Jangan cuma berani jadi penguntit. Dekati dong kalau berani. Tanya namanya dan minta segera dihalalkan. Tancap gas yang kebut, Sista. Dia banyak yang suka. Sainganmu berat loh.”

Memutar bola mata sekaligus badan ke hadapan si resek, aku mencubit bibir merah muda Voni. Dasar gadis sok tahu banget.

”Sudah tiga tahun kalian sekampus. Masa belum tahu siapa namanya. Vayola aja kenal dia, kenapa kamu nggak? Ajakin nikah muda dong. Kan lagi marak tuh nikah di usia muda. Daripada kamu lihatin tiap hari, bikin dosamu menumpuk. Belum sah, nggak boleh dilirik lama-lama.”

”Ini siapa sih yang sedang kamu ceramahi? Nikah aja kalau mau nikah! Nggak usah ngomporin orang.”

Voni tertawa sambil memukul bahuku. Beberapa orang yang duduk di pendopo sibuk dengan urusan mereka. Tidak ada yang menyadari betapa kencang suara Voni.

”Zura ... Zura ... Kamu nggak bakat jadi pembohong. Suka, ya, suka aja. Jangan malu. Biasa aja kali naksir sama cowok cakep. Apalagi cowok yang mainnya ke mushola. Adem banget dilihatnya. Kalau aku belum sama Anel, pengin juga diajak merit sama Cowok Masjid. Surga akan terasa dekat kalau aku jadi istrinya.” Gadis itu tertawa centil.

”Benar juga. Kayaknya aku memang naksir, bukan sekadar kagum aja. Terus gimana dong? Dia bukan tipe orang yang pacaran. Iya kalau dia mau? Kalau nggak? Ih malu, Von. Dan makin ke sini, aku jadi sering membayangkan dia. Senyumannya, suaranya ngaji sama azannya, dan kadang ngayal dikit jadi pasangannya. Aku sudah naksir kronis, bukan kagum lagi!”

”Nah udah sadar ‘kan?”

Aku menyebut dia Cowok Masjid. Tuh kan, baru mengatakannya saja sudah ada desiran aneh di dadaku. Tahu dia pertama kali saat kuliah Telaah Drama. Baru menyadari ‘dia’ ada saat tampil sebagai Muslim, tokoh utama, dalam drama ”Salisiah Adaik”. Sebenarnya itu adalah sebuah film yang digarap oleh mahasiswa ISI Padang Panjang. Dia—maksudku Cowok Masjid—memainkannya sebagai drama pendek dengan sangat apik. Dia menarik perhatianku sejak saat itu.

Bisa saja sih aku tanya namanya dari teman-temannya atau siapa pun yang kenal dia. Tapi aku malu. Aku takut ketahuan sedang mencaritahu tentang dia. Semakin aku bayangkan aksiku dalam menggali info tentang dia, semakin keras tawa Ale di telingaku. Dia sangat suka bercanda. Apa pun akan dijadikan bahan bully-an. Aku tak ingin jadi sasaran berikutnya. Dia juga kadang kulihat duduk dalam satu lingkaran bersama Cowok Masjid. Bisa gawat kalau dia ngomong macam-macam. Ketahuilah bahwa Ale orangnya senang melebih-lebihkan sesuatu.

”Uh, ini anak datang. Ganggu aja!” usik Voni hingga bayangan Cowok Masjid hilang dari kepalaku. Voni ingin membanting ponselnya kemudian tidak  jadi.

”Kenapa sih tiba-tiba?”

”Ini nih sepupu nggak punya kerjaan. Ngapain coba main ke kampus jauh-jauh? Kayak nggak ada cewek cantik aja di kampusnya sendiri. Senang banget dia nongkrong di sini.” Voni memperhatikan anak-anak Sendratasik yang sedang berlatih menari di tengah pendopo.

”Yak, emang di sini banyak artis cantik-cantik sih. Montok-montok, punya dada kencang. Ah, damn Melo!”

”Ini bibir harus diazanin supaya nggak bicara kotor. Sini aku bantu wudhu!”

”Ya udah deh, Ra, aku balik ke Mipa. Melo nunggu di sana. Jangan sampai dia kegatelan main ke sini. Bisa kena semprot sama mamanya aku kalau sampai Melo dapat pacar anak tari. Anak mami kayak dia belum boleh pacaran sama mamanya.”

Zura Salah Gaul (Complete)Where stories live. Discover now