"Arght!" Rean membuka mata dan menyibak rambutnya ke atas. Keringatnya bercucuran.
Mengingat kejadian subuh tadi makin menambah beban pikirannya saja. Ia memandang kafetaria yang masih sepi pengunjung lalu meraih cup kopi yang dipesannya, berniat menambah asupan kafein untuk menyanggah kelopak matanya agar tetap membuka. Namun sesaat sebelum ia meneguk, sebuah tangan menghentikan gerakannya.
"Rean!"
Rean mendongak dan menemukan Chelia yang menatapnya khawatir.
"Chelly?!" ujar Rean setengah terkejut. Beruntung ia belum sempat menenggak kopinya. Hampir saja ia tersedak, atau lebih buruk lagi menyemburkannya dengan cara yang sangat tidak beradab.
"Aku mencarimu kemana-mana. Edward bilang kamu kemari untuk beli minum tapi belum kembali."
Rean mengangguk mengiyakan, walau tujuan utamanya adalah kabur untuk meneangkan diri. Selepas berangkat untuk menjemput Chelia pagi tadi, ia memang tidak banyak berbicara pada siapapun. Bahkan di perjalanan ke kampus, ia tidak mengobrol dengan Chelia kecuali untuk mengingatkannya untuk mengencangkan helm, mengeratkan pegangan, atau berhati-hati dengan rok yang dikenakannya. Satu hal yang menjadi keuntungan orang irit bicara adalah saat benar-benar tidak ingin berbicara atau ada masalah, orang-orang tidak akan mempertanyakan.
"Kamu minum kopi lagi?" Chelia mengambil tempat di hadapan Rean.
Rean terdiam beberapa saat. Ia memang sudah menghabiskan dua cangkir kopi bersama Riva sewaktu sarapan di rumah Chelia tadi.
"Aku mengantuk, Chelly," jawab Rean pada akhirnya.
"Kamu juga nggak tidur semalam, ya?"
Rean mengangguk terpatah.
"Rama juga ...," lirih Chelia.
Rama lagi, Rean membatin.
"Pasti karena kalian kepikiran soal Mahesa, kan?"
Mahesa? Rean bertanya pada dirinya sendiri. Sejujurnya ia tidak begitu mengambil pikiran untuk saingan beratnya itu. Rama mungkin kelihatan santai, namun ia orang yang teguh. Rama mengkhianatinya adalah salah satu dari sekian hal yang tidak mungkin terjadi di dunia.
Chelia menepuk pundak Rean. "Jangan khawatir, Rean! Kami akan terus mendukungmu. Kami berada di pihakmu. Aku yakin kamu bisa memenangkan pemilihan nanti!"
Rean menatap Chelia dalam-dalam, berusaha menemukan jejak kebohongan di sana. Namun lagi-lagi, yang ia dapati justru sebuah ketulusan.
Rean tersenyum samar. "Kenapa yakin begitu, hm ...?
"Karena itu kamu." Chelia balas tersenyum. "Kamu hebat dan bertanggungjawab. Kamu pantas memimpin fakultas kita."
"Benarkah ...?" Rean menunduk dalam-dalam dan tersenyum malu sambil mengelus lehernya. Jantungnya berdetak tak karuan.
Chelia tersenyum lagi. "Tentu!"
Rean diam-diam melirik Chelia lewat sudut matanya. Ia kemudian memutar bahu Chelia hingga tepat menghadapnya. "Chelia, aku ingin mengatakan sesuatu."
Mata Chelia membulat. Bila Rean memanggilnya bukan dengan nama kecilnya, sesuatu yang akan dikatakannya pasti serius.
YOU ARE READING
Prescriptio☕
Mystery / ThrillerMenjadi mahasiswa farmasi yang super sibuk seolah cobaan yang belum cukup bagi Rama dan kawan-kawannya. Berbagai kejadian misterius terjadi pada orang-orang yang memiliki masalah dengan salah seorang di antara mereka. Ketika persahabatan diuji oleh...
30. Deceptio ☕
Start from the beginning
