🍁 7- Detak🍁

3.1K 177 2
                                    

Vote dan komen untuk menghargai karya penulis ;)

Takut kehilangan adalah salah satu alasan mengapa aku mampu bertahan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Takut kehilangan adalah salah satu alasan mengapa aku mampu bertahan.
-Aldevan Kenzie Arcandra-
•••


Mery bingung harus bereaksi seperti apa, di satu sisi hatinya menghangat sementara di sisi lain ia masih kecewa. Jujur, ada rasa takut saat Aldevan menggebrak meja yang membuat penghuni kantin menghentikan aktivitas mereka dan memilih menatap Aldevan.

Dari dadanya yang naik turun, napasnya yang tersengal, hidungnya yang kembang kempis. Bahkan, kuku Aldevan seperti menancap pada mangkok bakso yang ia bawa. Dirundung rasa takut, Mery berjalan sambil menatap ke bawah hingga tanpa sadar jidatnya mentok ke bahu lebar cowok itu.

Entah berapa kali sudah Mery meringis, jidatnya terasa ngilu. Tapi aneh, bahu Aldevan tidak mungkin sekeras itu. Aldevan termasuk cowok yang menjaga postur tubuh. Meski baru kelas sebelas, otot-otot di lengannya sudah menonjol, dan jangan lupa perutnya yang kotak-kotak. Mery masih ingat saat ia menginap di rumah Aldevan, ah ralat, tepatnya saat mereka berebut kamar mandi.

Perut Aldevan memiliki enam kotak yang membuatnya terlihat sangat seksi, alis tebal, dada yang bidang, bahu yang lebar, hidung mancung, rahang tegas dan bibir tebal yang terlalu kissable.

Umm, dih, kok gue jadi mikirin itu, sih? batin Mery, mengenyahkan khayalan mesumnya. Ia menyisir rambut dengan jari salah tingkah. Dilihatnya Aldevan, cowok itu sudah duduk anteng di sebuah kursi kayu panjang berwarna coklat. Cowok itu menatapnya dengan satu alis terangkat.

"Mau sampai kapan di situ? Cepetan makan, sebentar lagi belnya bunyi." Aldevan berujar seraya melirik sekilas Mery.

Mery menghela napas, tuh kan, berubah, sedetik seperti itu, detik selanjutnya pasti berbeda. Malas berdebat, Mery akhirnya duduk di sebelah Aldevan, sedikit mengambil jarak. Dengan kedua tangan terulur mengambil baksonya, Aldevan malah memundurkan bakso itu hingga Mery mengernyit tidak suka.

"Disuruh makan, tapi baksonya dijauhin. Gimana, sih?! Kalau mau liat aku kelaperan yaudah buang aja baksonya. Bak sampah deket, tuh. Tinggal lempar," ucap Mery kesal. Ia membuang wajah ngambek.

Bukan respon kasar yang Mery dapatkan, ia justru merasakan pergeseran Aldevan yang menepis jarak antara mereka. Cowok itu menggantung sendok berisi potongan baksonya ke udara.

"Siapa yang mau bikin kamu kelaperan? Sini buka mulutnya aku suapin," ucap Aldevan.

Mery tergelak detik itu juga, ia menatap Aldevan dan sendoknya bergantian. "Ma-maksudnya, kamu suapin aku?"

Aldevan mengangguk cepat. "Kenapa? Aku udah lama, 'kan nggak ngelakuin itu?"

Seketika pipi Mery menghangat, dia akui ucapan Aldevan benar, sudah jarang mereka menghabiskan waktu berdua saat istirahat. Aldevan sering sibuk mengurus eskul fotografi, persetan dari jabatan seniornya, Aldevan bertanggung jawab besar di sana.

PARACETALOVEWhere stories live. Discover now