[17] Katanya, Itu Jatuh Cinta

7K 898 10
                                    

Waktu enam malam tujuh hari seharusnya cukup untuk Anin melupakan percakapannya dengan Randu. Setelah Anin mengiyakan ajakan Randu malam itu, ia tak berani lagi menghubungi Randu. Mendadak perasaan yang Anin miliki hanya malu dan rasa senang tidak jelas. Kadang, Anin pun harus ekstra mengontrol dirinya ketika Randu mengiriminya pesan meskipun itu hanya pesan berisi Randu yang menanyainya sedang melakukan apa. Anin tak tahu perasaan apa yang beberapa hari ini ia rasakan. Dan ia bersyukur karena selama seminggu ini ia tak bertemu dengan lelaki itu, karena jika ia bertemu dengan Randu, entah apa yang harus Anin lakukan.

Mungkin selama satu minggu ini ia berhasil menghindari Randu, tapi hari ini, Anin benar-benar tak punya alasan saat Randu tiba-tiba ada di kampusnya pada jam makan siang. Dengan senyum polosnya lelaki itu berkata, "Makan siang bareng?"

Dengan ragu, Anin mengangguk, menghampiri Randu dan berjalan bersisian dengan lelaki itu. "Mas Randu kenapa tiba-tiba datang ke sini?" tanya Anin mencoba memulai percakapan.

"Kebetulan lagi ada waktu kosong. Pak Damar tadinya ngajak makan siang bareng, tapi aku milih ke sini aja, udah lama rasanya nggak ketemu kamu." Randu tersenyum dan Anin langsung mengalihkan pandangannnya.

"Kenapa nggak ngechat dulu?" tanya Anin lagi. Biar aku bisa ngehindar, lanjutnya dalam hati.

"Tadinya mau ngasih kejutan. Tapi kayaknya, kamu bukan tipe orang yang suka dikasih kejutan." Randu mengedikkan bahunya, cuek. "Terus, kalau aku bilang dulu mau ke sini nanti kamu malah menghindar lagi."

Refleks Anin melebarkan matanya. Well, rupanya Randu sadar dengan tingkah lakunya beberapa hari ini yang selalu menghindar. Tak ingin ketahuan, Anin pun menggeleng tegas, "Siapa yang mau menghindar? Aku biasa aja, tuh."

Anin kira Randu akan membalas perkataannya, nyatanya lelaki itu hanya melirik Anin dan tersenyum tipis. Anin pun menghela napas, merasa bahwa lelaki di sebelahnya pasti paham alasannya menghindar.

"Mau makan di mana?" tanya Randu ketika mereka sudah masuk ke dalam mobil.

Anin hanya membalas dengan gelengan.

Randu mengernyit, "Di mana?" tanyanya lagi.

"Terserah."

Kening Randu semakin mengernyit, "Terserah itu di mana?"

Anin berdecak, "Maksud aku, terserah Mas Randu aja mau makan di mana, yang ngajak makan siang bareng kan, Mas Randu jadi, Mas Randu aja yang nentuin, aku ngikut aja."

Setelah berkata panjang dengan nada kesal, Anin pun merutuki dirinya karena berani untuk lepas kontrol dan memunculkan sikap menyebalkannya pada Randu. Sungguh, selama mereka saling kenal, baru kali ini Anin berani bersikap merajuk seperti itu. Sadar akan kesalahannya, Anin lalu menutup matanya, berusaha mengontrol emosi, "Maaf. Maksud aku, aku mau makan di mana aja.".

Tanpa diduga, Randu tersenyum seolah tak mempermasalahkan sikap Anin tadi. "Oke. Kita ke rumah makan baru dekat kantorku saja ya, katanya lagi ada diskon."

"Iya." balas Anin pelan. Seharusnya, ia bersyukur karena Randu tak mempermasalahkan sikapnya tadi, hanya saja perasaan bersalah masih menyelimutinya. Randu tak berhak mendapat perlakuan seperti itu, dan Anin sadar bahwa tingkah menyebalkannya hari ini hanya sebagai bentuk pertahanan dirinya sendiri. Ia masih merasa malu, dan ia pun masih tak mengerti, kenapa ia harus malu pada lelaki sebaik Randu?

"Mas Randu?" panggil Anin pelan. Ia melirik Randu yang tampak asik menyetir sambil bernyanyi pelan, mengikuti lagu yang di putar di radio.

"Hm?" balas Randu sambil sesekali meliriknya.

"Nggak jadi, deh."

Randu mengernyit, "Boleh aku jujur?" tanyanya.

"Silakan." jawab Anin dengan gugup, sejak kapan Randu meminta ijin ketika ingin berkata jujur?

Retrospeksi | Seri Self Acceptance✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang