[4] Predestinasi

12.8K 1.2K 6
                                    

Sejak pertemuan pertamanya dengan lelaki bernama Randu, Anin tak punya keinginan ataupun niat untuk bertemu dengan lelaki itu lagi, meskipun Randu memiliki kesan pertama yang baik darinya. Kiara sudah beberapa kali mengajaknya untuk bertemu dengan Randu lagi tapi ia selalu menolak dan berpikir bahwa ia dan Randu hanya ditakdirkan sebagai sebatas orang yang pernah saling kenal.

Sejujurnya, ia takut untuk mengenal lebih jauh sosok Randu. Lelaki itu terlalu baik dan memiliki potensi untuk disukai semua orang, termasuk Anin. Dan sebisa mungkin Anin akan menjauhi hatinya dari hal-hal yang dapat membahayakan dirinya. Oleh karena itu, bertemu lagi dengan Randu menjadi hal yang ia hindari.

Untungnya Randu tidak menerornya seperti beberapa orang yang sempat Anin kenal. Lelaki yang teman-temannya kenalkan hampir semua mengajaknya bertemu kembali dan terus mengirimkan pesan-pesan aneh yang membuat Anin mau tak mau memblokir mereka. Dan Randu tidak seperti itu. Sejak pertemuannya dengan Randu, Kiara sempat berkata bahwa Randu meminta nomer ponselnya. Dan sampai saat ini, dua minggu berlalu sejak pertemuan, ia sama sekali belum pernah mendapat pesan atau telepon darinya. Bukannya Anin menunggu ingin dihubungi, ia hanya merasa lega karena Randu bukan seperti lelaki kebanyakan yang ia kenal.

Dan hari ini ketika ia sudah hampir lupa pernah berkenalan dengan lelaki yang bernama Randu, sosok itu malah datang ke tempatnya bekerja tanpa diduga. Melihat wajah terkejut Randu, Anin dapat menduga bahwa lelaki itu juga sama terkejutnya.

"Ternyata nggak usah buat janji dulu untuk bisa ketemu dengan kamu, Anindya."

Anin hanya tersenyum canggung tanpa ada niat untuk membalas perkataan lelaki itu. Sungguh, Anin tak tahu harus bagaimana.

"Pak Randu udah kenal dengan Anindya?" tanya Anwar selaku dosen di universitas tempat Anin bekerja. Anwar merupakan dosen Anin juga saat menempuh D3 Administrasi beberapa tahun lalu. Anin bisa bekerja di sini pun atas rekomendasi darinya. Dan hari ini, Anwar memperkenalkan Randu padanya sebagai dosen yang akan menggantikannya selama dua minggu ke depan karena Anwar akan mengikuti seminar di luar negeri.

Randu tersenyum sambil menatap Anin yang berdiri kaku. "Saya pernah kenalan sama Anindya, Pak."

Anwar mengangkat sebelah alisnya, "Kenalan?"

Randu tersenyum, "Iya,"

Anwar terkekeh lalu menepuk punggung tegap Randu, "Kenalan yang nggak sebatas kenalan biasa, kan?"

Mendengar pertanyaan Anwar, Randu pun tertawa pelan dan kepalanya tanpa ragu mengangguk. Sedangkan Anin hanya diam, tak bisa menyangkal karena bagaimana pun juga mereka memang pernah berkenalan dengan maksud 'lain'.

"Jadi tipe Anin itu kayak Pak Randu ini, toh, pantes nggak mau dijodohin sama anak Bapak." Anwar tersenyum jahil dan Anin refleks menggeleng, "Bu-bukan gitu, Pak."

Anwar terkekeh, "Nggak pa-pa, Nin, saya ngerti, kok."

Anin pun menggigit bibir bawahnya gelisah. Ia sungguh merasa tak enak. Sebenarnya Anwar yang sudah ia kenal sejak jaman masih kuliah ini sangat berjasa di hidupnya. Ketika Anwar menawarkan Reno, anaknya, dengan niat dijodohkan, Anin menolak. Ia beralasan bahwa saat ini ia akan fokus bekerja. Tapi sekarang saat Anwar tahu ia pernah berkenalan dengan Randu membuat Anin merasa tak enak hati.

Merasa ada suasana kecanggungan yang Anin keluarkan, Randu pun berucap, "Saya juga baru sekali ketemu Anindya, Pak. Susah buat deketinnya."

Anin mendengar Randu dan Anwar terkekeh pelan, menertawakan Anin yang katanya 'sulit untuk didapati'. Sungguh, kenapa mereka membicarakan orang lain tepat di depan orangnya langsung? Dan tanpa sadar, Anin mendengus pelam, merasa bahwa momen seperti ini sungguh amat menyebalkan.

Retrospeksi | Seri Self Acceptance✅Where stories live. Discover now