[10] Persetujuan

8.7K 982 4
                                    

Menunggu merupakan salah satu kegiatan yang kurang Anin sukai. Selain karena menunggu itu membosankan, ia juga pernah punya pengalaman buruk tentang menunggu. Saat kecil, ia pernah menunggu ibunya pulang sampai jam dua pagi. Dan kegiatan menunggunya itu pun berakhir dengan sia-sia karena ibunya langsung tertidur begitu sampai rumah di saat ia butuh berbicara dengan ibunya.

Dan untuk pertama kalinya, kegiatan menunggu bisa Anin nikmati dengan mudah. Acara pekan amal yang ia datangi sangat seru. Banyak pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan oleh para anak panti asuhan juga anak-anak jalanan. Selama hampir satu jam lebih ia duduk, menunggu Randu, sambil menikmati acara. Dan sialnya, sesekali matanya melirik Randu yang tampak sibuk dengan pekerjaannya. Ia pun hampir dua kali menyadarkan dirinya sendiri agar tidak terlalu kagum dengan lelaki itu.

Lelaki itu punya pesonanya sendiri yang mampu membuat orang lain ingin terus menatapnya. Senyum ramah Randu juga menunjukan bahwa ia adalah lelaki baik yang tidak neko-neko. Anin percaya, bahwa lingkungan dan didikan itu berpengaruh penting akan perkembangan kepribadian seseorang. Dan ia penasaran, seperti apa lingkungan dan didikan yang Randu punya hingga membuat lelaki itu tampak menakjubkan di matanya.

"Ini." Randu datang menghampirinya sambil memberikan jus alpukat yang langsung diterima oleh Anin, "Makasih, Mas."

"Makasih karena sudah mau tunggu saya." ujar Randu membuka pembicaraan. Lelaki itu melirik Anin yang sedang menunduk sambil menatap jusnya. "Kamu nggak suka jus alpukat?" tanyanya langsung.

Anin menggeleng, "Saya suka sama alpukat kok, Mas Randu. Makasih."

Randu mengangguk lalu tersenyum, "Hal pertama yang saya tahu tentang kamu sekarang. Kamu suka jus alpukat. Berarti saya nggak salah beliin ya."

Tanpa disadari bibir Anin tersenyum tipis, merasa lucu entah karena apa. "Saya juga suka banget sama mangga." sahut Anin tiba-tiba yang anehnya, mampu membuat Randu terkekeh.

"Oke. Alpukat dan mangga." Randu tersenyum, "Saya bakal save dua kata itu di otak saya. Pake nama file Anindya."

Refleks Anin tertawa kecil. Ia suka dengan cara Randu memperpanjang obrolan mereka.

"Kalau saya suka alpuket sama durian. Save itu ya di otak kamu, pake nama file Randu."

"Kalau saya nggak mau gimana, Mas?" tantang Anin.

Randu menggedikkan bahunya, "Nggak apa-apa. Saya yang bakal terus ngingetin hal-hal tentang saya ke kamu. Dan mungkin tanpa kamu inget, hal itu bakal nempel di otak kamu," Lelaki itu menoleh, menatap Anin lekat, "Kalau kamu ngasih kesempatan itu, Anindya."

Anin membisu. Ia tahu, pembicaraan mereka sekarang sudah memasuki serius karena lelaki di sebelahnya mengungkit tentang kesempatan yang pernah Randu minta. Ia lalu menghela napas, berusaha mengumpulkan keberanian.

"Saya tadi denger obrolan Mas Randu sama perempuan yang rambutnya pendek," Ia menoleh, dan Randu tampak menanti perkataan selanjutnya. "Mas Randu bilang bakal ketemuan sama sepupu perempuan itu."

Kening Randu mengernyit, tampak bingung, "Saya nggak bilang bakal nerima itu. Kata 'gimana nanti' itu bentuk penolakan awal dari saya." Randu tersenyum, "Makasih udah bicara tentang itu, Anindya. Tapi, saya bukan orang yang gampang buat diajak ketemuan atau semacamnya. Tadi saya cuman nggak bisa menolak secara langsung. Dan lagipula, sebelum kita ketemu sekarang, saya punya keyakinan yang kuat kalau kita bakal ketemu lagi. Jadi, saya nggak akan melakukan pendekatan dengan siapa pun."

Mendengar penjelasan Randu, Anin mendadak merasa gugup. "Kalau Mas Randu bukan orang yang gampang diajak ketemuan sama orang asing, kenapa Mas Randu mau ketemu saya waktu itu? Mas Randu juga bilang kan, nggak ada yang salah dengan mencoba hal itu."

Randu terkekeh, "Kita pernah ketemu sebelumnya, pas anaknya Rehan lahiran."

"Hah? Itu kan hampir dua tahun yang lalu." Anin mengerjap, merasa tak percaya dengan perkataan Randu.

Lelaki di sebelahnya mengangguk, "Iya, dua tahun yang lalu. Waktu itu Tante Dinan juga sudah mau ngenalin kamu ke saya. Tapi, waktu itu saya belum siap." jelas Randu.

Anin membisu. Tak menyangka akan mendapat informasi seperti itu. "Saya nggak tahu." cicitnya pelan.

"Bukan masalah. Jadi, gimana?"

"Saya pingin nolak kesempatan Mas Randu. Tapi.." Anin menatap lekat Randu, berharap lelaki itu tahu, bahwa ada banyak keraguan yang hinggap di dirinya tapi ia tak kuasa untuk menolak. Hatinya tak bisa untuk menolak.

Randu tersenyum, "Kenapa kamu pingin nolak?"

"Obrolan Mas Randu sama perempuan tadi buat saya nyadar bahwa nggak seharusnya saya dekat dengan Mas Randu. Mas Randu terlalu.. baik untuk saya."

"Apa masalah kamu selalu berpusat di situ, Anindya?"

"Maksudnya?"

"Saya nggak sebaik yang kamu pikir dan kamu pun nggak se-biasa yang kamu kira. Seingat saya, saya udah pernah bilang ini sejak perkenalan pertama kita."

"Tapi.. bukannya memang itu kenyataannya? Saya mau memulai semua dari awal dengan Mas Randu. Apalagi Mas Randu nggak menuntut lebih ke arah yang serius. Tapi, Mas terlalu baik untuk saya sedangkan ini yang pertama buat saya. Dan saya takut ini nggak baik buat ke depannya."

"Yang menilai baik buruknya saya itu Allah. Dan kenapa harus takut buat ke depannya?"

"Ini yang pertama buat saya. Saya nggak pernah mencoba menjalin hubungan dengan orang lain, meskipun sekarang kita hanya memulai dengan pendekatan aja. Saya punya ketakutan tersendiri untuk menjalin hubungan, Mas. Saya punya masa lalu yang kurang mengenakkan. Saya sulit menerima orang lain di hidup saya. Dan kalaupun saya mau mencoba memulai ini sama Mas Randu, saya takut ini gagal. Saya takut proses yang bakal Mas laluin sama saya terlalu lama dan buat Mas ragu untuk saya. Saya takut waktu Mas terbuang sia-sia karena nggak mendapatkan hasil apa-apa."

Anin menghembuskan napasnya, lega karena sudah berani untuk bercerita pada Randu. Ia tahu ini memalukan karena menceritakan kelemahannya sendiri pada orang yang belum terlalu dekat. Tapi Anin ingin Randu tahu, dan memikirkannya lagi matang-matang. Ia tak mengapa walau pada akhirnya Randu memutuskan untuk tidak menjalin hubungan dengannya, meskipun di sudut hatinya ia merasa sedikit terluka.

Randu terdiam, memikirkan semua ucapan yang keluar dari mulut Anin. Ia berdehem pelan lalu berkata, "Kalau kamu mau, kita bisa usaha bareng-bareng, Anindya. Saya juga nggak mau ini berakhir tanpa ada hasil. Tapi kalau pun nggak ada hasil, it's okay. Berarti kita bukan jodoh. Ada seseorang yang jauh lebih baik buat kamu dan ada juga seseorang yang pas untuk saya selain kamu." Randu menatapnya serius, "Kita sebagai manusia cuman bisa berusaha, kan?" lanjutnya.

"Mas Randu nggak keberatan?" tanya Anin ragu. Lelaki di sebelahnya tampak dewasa baginya. Randu tetap tenang dan mampu menjawab perkataannya dengan baik.

"Nggak sama sekali. Hasil itu Allah yang nentuin. Yang kita lakuin kan, cuman usaha. Dan saya mau berusaha sama kamu."

Anin menatap Randu lekat, mencari kebohongan atau keraguan dari mata itu. Dan ia tidak menemukannya. Ia bisa melihat keseriusan Randu. Setelah puas menatap lelaki itu, Anin mengalihkan pandangannya. Lantas berdehem pelan, berusaha mengurangi rasa gugupnya. "Makasih ya, Mas Randu." tukasnya pelan.

Randu mengernyit, "Makasih untuk?"

"Karena udah mau minta kesempatan ke saya."

Kening Randu masih mengernyit sampai akhirnya, ia paham maksud Anin, ia pun tersenyum lebar, "Saya yang seharusnya makasih karena kamu sudah ngasih kesempatan, Anindya."

Detik berikutnya, Anin tahu bahwa panggilan "Anindya" yang lelaki itu ucapkan masuk pada list kesukaannya.

Retrospeksi | Seri Self Acceptance✅Where stories live. Discover now