[1] Anindya

27.7K 1.6K 38
                                    

"Apa susahnya sih, kamu nikah? Nikah itu menyempurnakan agama, Nin. Jangan buat standar tinggi-tinggilah buat orang yang mau deketin kamu. Toh, kamu cuman lulusan D3 dan kerja jadi staf biasa. Inget umur loh, udah nggak pantes diumur tiga puluhan-an masih main-main aja."

Anindya tak pernah marah ataupun sakit hati ketika mendengar perkataan yang seperti itu. Ia dapat menerimanya dengan lapang dada. Meskipun begitu, ia tetap kesal pada orang-orang yang seperti itu. Ia kesal pada orang yang selalu men-judge hidup orang lain dan menyamaratakan hidupnya dengan yang hidup orang lain. Jika memang menurut Yuli -Adik dari ibunya- menikah bisa buat kita bahagia, maka menurut Anin tidak hanya menikah yang bisa membuat bahagia. Dengan bekerja dan bisa menghidupi adik-adiknya pun bisa membuatnya merasa cukup.

Banyak yang berkata bahwa hidup Anindya Mudita terlalu monoton dan tidak ada hal yang menarik. Anin pun mengakui itu. Hidupnya hanya diisi oleh kerja, kerja dan kerja. Bukan karena ia gila harta ataupun jabatan, tapi memang keadaan yang memaksanya agar hidup untuk bekerja. Diumurnya yang sudah beranjak tiga puluh dua tahun, sudah saatnya ia memikirkan apa yang selalu orang-orang tanyakan padanya. Menikah. Dan sayangnya, kata "menikah" sama sekali belum pernah hinggap dipikirannya. Bukan karena ia tak laku ataupun karena ia memiliki standar tinggi untuk calonnya. Tapi, karena ia memang tak ingin menikah. Karena baginya, menikah itu berarti menerima orang lain di hidupnya. Dan menurutnya itu adalah hal yang berbahaya.

Sekali lagi Anindya menghela napasnya kasar. Ia menatap Dinda -Adiknya- dengan tajam, berharap adiknya mengerti bahwa sudah saatnya mereka pergi dari tempat yang selalu Anin hindari. Dinda menatapnya dengan tatapan yang mengisyarakan maaf lalu kembali berbincang dengan dua orang di depan mereka.

Yuli yang duduk di depannya sekali lagi berucap, "Kemarin kata si Doni, anaknya Bu Rika, kamu pulang dianter cowok. Siapa tuh? Pacar kamu? Kalau pacar kamu, cepet-cepetlah nikah. Jangan main-main mulu, malu sama umur."

"Itu cuman temen Anin, Tan. Anin nggak punya pacar atau apapun itu." jawab Anin mencoba bersabar. Ia tahu, menghadapi Yuli tidak akan pernah ada habisnya. Sungguh, jika bukan karena paksaan Dinda, ia tak akan pernah mau menginjak rumah ini.

"Jangan bohong kamu. Hati-hati loh, Nin, kalau pacaran, kamu harus bisa jaga diri. Jangan sampai tiba-tiba hamil kayak ibumu itu. Nanti-"

Cukup

Tanpa pikir panjang, Anin pun mengambil tas selempang dan ponsel yang ia simpan di atas meja. Tanpa pamit, ia melangkah keluar rumah tantenya dan mengabaikan teriakan Yuli juga panggilan Dinda. Sungguh, ia lelah dengan semua perkataan yang seperti itu.

***

"Ngapain sih, ke rumah Tante Yuli lagi? Nggak kapok emang?" Kiara, sahabatnya, mengomel sambil tangannya sibuk mengelap mulut Zaidan -anaknya- yang kotor karena memakan mangga yang Anin beli sebelum singgah ke rumah Kiara.

"Dinda terlalu baik, Ki. Menurut dia, kita harus sering-sering jengukin Tante. Karena mau bagaimanapun juga Tante Yul pernah nampung gue sama adik-adik."

"Iya, mungkin memang bener niat kalian silaturahmi, tapi kalau gini jadinya mah, mending nggak usahlah, Nin. Itung-itung jaga Tante Yul juga supaya nggak usah nyinyir, kasian kan, dosa." Kiara masih bersungut, merasa ikut kesal dengan cerita yang baru saja Anin ceritakan.

Anin menghela napas panjang lalu menyandarkan punggungnya ke sofa empuk di rumah Kiara. Ia mengedarkan pandangan di sekeliling rumah sahabatnya dan baru sadar jika rumahnya sepi. "Kok, sepi, Ki?" tanyanya sambil mengambil toples berisi kue nastar di atas meja dan memakannya.

"A Rehan lagi ke nikahan anak temennya. Kalau bunda lagi ada kegiatan di panti." balas Kiara.

"Kok, lo nggak ikut ke kondangan? Suami lo masa ke kondangan sendiri."

Retrospeksi | Seri Self Acceptance✅Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu