[2] Reuni

15.3K 1.3K 13
                                    

"Mending periksa aja, deh, Na. Udah tiga tahun nikah masa belum hamil. Gue aja waktu itu cuman kosong lima bulan," Seorang wanita berambut pendek dengan warna coklat itu berkata dengan ringan seolah hal yang ia bicarakan bukan sesuatu yang dapat menyakiti hati beberapa orang di depannya. Dan secara terang-terangan, Anin mendengus kesal lalu tertawa sinis, ia malas menghadapi manusia semacam Rhena, sang ratu pamer pada malam ini.

Reuni SMA selalu menjadi hal yang menyenangkan untuk Anin karena ia bisa bertemu dengan kawan-kawan lamanya. Ia selalu senang saat ia dan teman-teman bernostalgia bersama. Hanya saja, momen di mana orang-orang saling memamerkan hal yang telah mereka raih adalah momen yang sangat ia hindari. Dan Rhena, teman lamanya yang sekarang sudah memiliki dua anak dari seorang suami yang kaya raya, yang katanya pengusaha kayu, mampu membuat mood Anin turun secara drastis.

"Mas Andra punya kenalan dokter kandungan yang bagus di Bandung. Kalau lo mau, gue kasih kontaknya." Rhena berkata lagi sambil tangannya sibuk menyuapi kue pada anak keduanya yang berusia dua tahun.

Kina, wanita yang duduk di sebelah Anin hanya tersenyum tipis, "Mungkin belum rejekinya dapat momongan, Rhen."

Rhena mengangguk, "Iya, gue ngerti. Tapi ada baiknya berusaha, kan?"

"Nanti gue omongin lagi sama A Dani aja. Gue sama A Dani juga belum kepikiran buat momongan lebih lanjut, sih. Kita hidup berdua pun udah merasa cukup." Sekali lagi Anin dapat melihat senyum tipis dari kawan lamanya, Kina. Walaupun Kina berkata seperti itu, Anin yakin bahwa hal itu bertentangan dengan hatinya.

"Jangan lama-lama juga nundanya. Inget loh, seorang perempuan itu belum menjadi perempuan utuh kalau belum melahirkan." Rhena tersenyum manis, ia pun mengalihkan pandangannya pada Anin lalu berseru lagi, "Jangan nunda buat nikah juga, Nin. Perempuan itu punya masa kadaluarsanya loh."

Tadi ketika Rhena mulai berbicara, Anin berjanji pada dirinya sendiri agar tidak menanggapi semua omongan wanita itu, tapi sekarang rasanya Anin ingin melanggar janjinya sendiri.

"Maksud lo apa?" tanya Anin datar membuat Rhena kembali menoleh padanya. "I really wanted to tell you. Harga diri perempuan itu nggak bisa diukur dari melahirkan atau tidaknya. I have vagina, she has vagina.." Anin menunjuk Kina dengan dagunya, "Everywomen have vagina, dan mau melahirkan atau nggak, mereka tetep perempuan. Perempuan utuh itu nggak bisa diukur dari stigma yang lo bilang itu." Anin menatap Rhena tajam membuat perempuan itu sedikit terimindasi.

Rhena tertawa canggung, berusaha mendinginkan suasana yang mendadak panas, apalagi beberapa orang di meja panjang yang mereka tempati tampak memperhatikan mereka dengan wajah tertarik. Rhena menghela napas pendek saat sadar bahwa orang-orang sedang memperhatikannya. Anin punya suara yang cukup keras maka tak heran banyak yang menoleh pada mereka.

"Gue tau kok, Nin. Lo nggak usah baper begitu," Rhena tertawa canggung sambil tangannya disibukkan dengan mengelap mulut anaknya yang sama sekali tak kotor.

"Gue nggak baper, tapi merasa kasian aja sama lo dan pikiran sempit lo itu."

Rhena terdiam kaku, merasa sakit hati dengan ucapan perempuan berhijab merah di depannya. Anindya adalah salah satu perempuan yang terkenal dengan ucapan ketusnya yang entah kenapa tak berubah setelah hampir lima tahun tak bertemu, Rhena tak menyangka bahwa sifat ketus perempuan itu masih melekat. Pantas belum menikah, batinnya.

"Sorry, Nin, gue nggak maksud." hanya itu yang bisa Rhena katakan dan lantas membuat Anin lagi-lagi berdecak.

"Wow, Anindya nggak pernah berubah, ya, tetap menjadi si ketus." celetuk seseorang di belakang Anin, membuat perempuan itu menoleh dan mendapati lelaki jangkung yang sedang tersenyum lebar padanya. Anin sempat terpaku melihat lelaki kucel yang selalu mengusilinya dulu berubah menjadi lelaki maskulin yang berkarisma, lengan kemeja hitamnya yang ia gulung mampu memperlihatkan lengan kekarnya, meskipun kaca mata bertengger di matanya, lelaki itu tampak terlihat keren di matanya.

"Faisal?" seru Anin dengan nada terkejut. Melihat sekali lagi cengiran khas lelaki itu pun mampu membuat Anin membuang mood buruknya tadi dan tersenyum lebar membalas cengiran lelaki bernama Faisal itu.

Faisal berjalan ke arah meja dekat Anin dan menyalami beberapa orang sebelum akhirnya menepuk-nepuk kepala Anin gemas, "Anindya Mudita gue kangen lo!" serunya heboh.

Anin pun tertawa kecil, merasa rindu juga dengan candaan receh lelaki di sampingnya. Faisal menarik kursi di belakang mereka lalu duduk di samping Anin. Ia melirik Rhena dan tersenyum simpul, "Jangan masukin hati omongan Anin, Rhen." serunya dengan nada ramah.

Rhena membalas senyumnya, "Santai aja, Sal. Salah gue juga."

Faisal masih tersenyum lalu mengangguk, "Untung deh lo sadar. Well, omongan Anin tadi bener, gue juga kasian sama lo dan pikiran sempit lo."

Anin pun refleks tertawa, apalagi melihat wajah penuh kesal Rhena, beberapa orang yang mendengar percakapan mereka pun tampak menahan tawa. Jika ia dulu dijuluki dengan "Si ketus" maka lelaki di sampingnya adalah "Si tak punya hati". Faisal dengan kejujurannya mampu membuat Anin betah berteman dengan lelaki itu di saat orang lain merasa ditelanjangi oleh kejujuran Faisal. Dan di saat orang-orang merasa kesal dengan Anin, hanya Faisal yang mampu mengimbanginya. Mereka sama-sama membutuhkan satu sama lain. Dan sejujurnya, diantara banyaknya teman yang Anin miliki, Faisal adalah salah satu orang yang mampu memahami dan mengerti dirinya.

"Gue kangen sama lo, Sal. Sombong banget lo nggak bisa dihubungin. Tahun lalu gue sempet email lo, loh." Anin memilih menyelesaikan perbincangannya dengan Rhena dan mulai fokus pada Faisal Bumi Putra, kawan yang sudah hampir lima tahun ini tak ada kabar.

"Gue baru balik ke Bandung lima bulan yang lalu. Btw, gue sempet kecopetan beberapa tahun yang lalu. Handphone sama laptop gue ilang dan ya, gue nggak bisa log in Email, FB, Twitter atau medsos lainnya karena gue ngga pernah inget password. Sorry, ya. Gue sempet sih, ngehubungin lo di IG, tapi lo jarang aktif IG. Gue juga nggak masuk grup, jadi, kita bener-bener lost contact. Well, selain itu sejak masuk kerja di perusahaan ini gue mendadak sibuk, Nin." jelas Faisal dengan nada sesal. Ia memperhatikan Anin lebih dalam dan baru sadar bahwa gadis di depannya sudah banyak berubah. "Btw, lo berubah cukup banyak."

Anin mengernyit, "Berubah apa?"

"Lo lebih enak dipandang, Nin. Jilbab lo makin panjang, lo juga makin keliatan anggun dengan pakai gamis gitu. For the first time deh, gue muji lo. Lo makin cantik sekarang." Faisal tersenyum simpul membuat Anin sejenak terpana dengan senyum yang entah kenapa semakin manis.

"Thanks pujiannya tapi gue nggak merasa tersipu dengan omongan lo." Faisal pun tertawa.

Anin tersenyum dan berucap syukur dalam hati karena mood-nya kembali naik setelah tadi hampir hancur oleh perkataan menyebalkan Rhena.

Retrospeksi | Seri Self Acceptance✅Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt