[18] Ajakan

6.7K 924 14
                                    

Sejak Anin mengenal Randu, entah sudah berapa kali lelaki itu mengiriminya makanan atau minuman dengan alasan ingin Anin ikut mencoba sesuatu yang menurut lidah lelaki itu enak. Anin tak meragukan kemampuan Randu dalam memilih makanan yang enak. Randu punya kualitas tersendiri pada makanan yang lelaki itu makan dan untungnya, selera lelaki itu mirip dengannya. Meskipun kadang Anin tak enak hati ketika Randu terus mengiriminya makanan, tapi sejujurnya, ia merasa sedikit senang karena dapat ikut mencoba apa yang menurut lelaki itu enak. Karena apa yang Randu beri tidak pernah mengecewakan lidahnya.

Untuk bentuk terima kasihnya selama ini pada Randu, maka hari ini Anin sengaja bangun pagi, pergi ke pasar ditemani Faizan lalu memasak apapun yang ia bisa dengan dibantu oleh Dinda. Ia jarang sekali masak karena sejak remaja ia fokus mencari uang dan Dinda yang mengatur makan mereka, maka kemampuan memasak Dinda pun sudah tidak bisa diragukan lagi. Ditambah adiknya itu juga merupakan alumni SMK dengan jurusan tata boga.

"Enak, Teh, rasanya pas." sahut Dinda setelah mencicipi masakannya.

Anin mengerutkan keningnya, tampak ragu, "Masa, sih?" Ia pun mencobanya, dan rasanya pas, tak kurang dan tak lebih. Tapi tetap saja, ia merasa belum puas.

"Terlalu biasa, dek." serunya. "Kayaknya nggak jadi, Teteh takut Mas Randu nggak suka."

Dinda pun berdecak dan memutar bola matanya malas, "Tahu nggak? Teteh udah ngomong itu enam kali hari ini. Ini enak. Dan Dinda yakin, Mas Randu pasti lebih fokus ke ketulusan Teteh buat bikin ini. Percaya, deh, Mas Randu ntar makin cinta."

Sekarang Anin yang berdecak tak suka mendengar penuturan adiknya. Sebetulnya, ide untuk memasakan makanan untuk Randu itu ide dari Dinda. Katanya, lelaki itu bakal luluh jika dimasakan oleh orang terdekat. Anin ingin menolak ide itu, tapi hatinya berkata bahwa tidak ada salahnya ia memberikan sesuatu yang manis pada Randu. Setidaknya, ini bisa menjadi yang pertama dan yang terakhir Anin memberikan hal seperti ini.

"Bener nggak apa-apa?" tanya Anin ragu sambil menatap masakannya di meja. Terdapat empat menu dengan salad buah yang sudah ia siapkan dan ia masih ragu.

Dinda berdecak sekali lagi lalu tangannya sibuk memasukan kotak makanan ke paperbag, "Banyak mikir, ah. Pokoknya sekarang kirim."

Meskipun perasaan ragu masih menyelimbutinya, namun pada akhirnya, Anin tetap mengambil ponselnya dan memesan ojol untuk mengirimkan makanannya ke kantor Randu

***

Sudah setengah jam lebih makanan yang Anin buat dikirim ke kantor Randu. Ia terus menatap layar ponselnya, menunggu lelaki itu menghubunginya. Anin memang tak memberitahu terlebih dahulu ia mengirim makanan, mungkin terdengar berlebihan, dan ia pun sebenarnya tak suka, tapi ia ingin memberi kejutan pada lelaki itu. Ia berharap Randu tak berpikir aneh dengan sikapnya kali ini.

Anin menghela napasnya, merasa membuang waktunya karena hanya berdiam diri menatap ponsel. Baru saja ia akan bangkit, ponselnya berdering dan nama Randu tertulis sebagai penelpon. Tak ingin menunggu lama, Anin pun segera mengangkatnya.

"Assalamualaikum." ujar Anin sambil berusaha mengontrol dirinya, tiba-tiba ia merasa malu.

"Waaaikumsalam. Lagi nunggu aku nelpon?" tanya Randu jahil dan Anin bisa membayangkan senyum menyebalkan lelaki itu.

"Nggak tuh, ngapain aku nunggu Mas Randu nelpon?" balas Anin bohong.

"Yah, mungkin aja kan, kamu nunggu kabar dari aku apa makanannya nyampe atau nggak."

"Tapi.. makanannya nyampe dengan selamat, kan?" Anin bertanya pelan.

"Iya. Ada nasi, cumi goreng, bakwan, capcai sama salad."

Retrospeksi | Seri Self Acceptance✅حيث تعيش القصص. اكتشف الآن