10. Tinggal disini saja

3.5K 251 74
                                    

“Rena?” aku menoleh menatap pria yang berjongkok dihadapanku ini.

“kamu ga pa--” aku memotong ucapannya, memeluknya erat. Daniel segera menggendongku, membawaku masuk kedalam mobilnya. Aku masih menangis. Kali ini, aku menangis dengan kencang, tak malu membiarkan Daniel melihatku yang seperti anak kecil ini.

Daniel menancapkan mobilnya, dan menyerahkan tisu kepadaku. Sesekali ia melirikku. Kami berhenti disebuah taman. Terlihat indah sekali malam ini, berbeda dengan kondisi perasaanku.

Ia membawaku keluar, menyuruhku duduk disebuah kursi kayu. “lo duduk dulu, biar gue beli minuman dulu.” ujarnya dan pergi meninggalkanku yang masih sesegukan.

Daniel kembali dengan dua gelas bandrek.

“diminum, biar anget.” ujar Daniel menyodorkanku salah satu gelasnya. Aku mengangguk dan meneguk habis seisi gelas. “astaga padahal panas itu.” aku kembali menyerahkan gelas kosongku ke Daniel. Aku punya sebuah kebiasaan. Saat perasaanku sedang sedih dan kacau, masakan atau minuman yang panas itu, tidak akan terasa panas dilidahku. Aku juga tidak tahu kenapa.

“mau cerita?” tanya Daniel. Aku menggeleng. Kami hanya menghabiskan lima belas menit saling terdiam.

“mau pulang?” aku kembali menggeleng. Daniel menatapku sesaat. “kalau gitu ke apartemen gue aja, mau?” aku kembali menggeleng. Kalau ikut Daniel ke apartemennya bisa mampus aku. Berbahaya. Nanti dia malah aku terkam.

“anterin gue ke rumahnya sisil bisa?” tanyaku. Daniel tersenyum manis, menunjukkan gigi kelincinya. Mengusap lembut kepalaku dan membawaku masuk kembali kedalam mobil.

Silvia triantra--teman semasa SMA ku ini, menatapku bingung. “lo nangis?” Daniel sudah pulang, setelah aku berterima kasih kepadanya. “iya.” jawabku sembari mengangguk lemas.

“kenapa?” tanyanya. “Mama!”

“masuk dulu na, rewel banget anak gue.” aku mengangguk, masuk kedalam rumah Sisil. Sisil menggendong putra kecilnya--Eric kedalam pelukannya. Sembari berjalan membimbingku ke sofa.

“sil, gua nginep ya.” ujarku. Sisil mengangguk kecil. “kenapa? Lo kabur dari rumah?” aku terdiam. Sejujurnya aku tidak enak mengganggu sisil semalam ini, tapi aku tidak tahu harus kemana. Masalahnya aku hanya punya ponsel didalam sakuku, tidak ada uang sepeserpun.

“gue abis berantem sama tante-tante gue dirumah maknya laras.” ungkapku. Sisil tentu saja kenal dengan Laras, toh dulu Sisil ini suka dengan Bang Adam, ya walaupun akhirnya ia malah jadi dengan Kelvin--senior dikampus kami dulu.

“gue tau. Pasti masalah lo yang belum nikah-nikah ya?” bingo. Aku mengangguk. Sisil selalu tahu mengenai masalahku. Aku selalu bercerita kepadanya.

“yauda kalau gitu ya nikah aja. Buktiin ke mereka kalau lo itu bisa dapetin suami yang lebih baik daripada suaminya laras. Ga bosen apa lu diomelin mulu ha?” aku terdiam. “buktiin-buktiin. Enak banget tuh congor mangapnya. Kirain gampang nyari suami.” Sisil tertawa. “lo kan cantik na, pepet aja boss lo misalnya.” aku menoyor kepala Sisil. “gausah gila ya, boss besar gua itu uda bangkotan, jadi bapak gua juga bisa.” Sisil mengangguk. “yauda, jadi istri mudanya aja. Kan gapapa, yang penting duitnya, toh bentar lagi juga yang tua-tua begitu uda dipanggil.” aku berdecak sebal menatap Sisil yang menggodaku. Sisil tertawa keras. Eric memilih turun dari pangkuan Sisil. “ma, aku ke kamar sama papa aja ya. Babay tante.” aku mengelus kecil rambut Eric.

“sama siapa aja deh lo nikah, yang penting tante-tante lo itu berhenti ngeremehin lo. Kalau bisa cari yang ganteng plus kaya tuh, biar nyahok tante-tante lu mah.” aku mendengus.

A Whole New World. ✔️Where stories live. Discover now