6.teman

3.8K 242 20
                                    

Aku menunggu Mba Tika selesai dari kamar mandi. Katanya, aku ikut bersamanya saja. Hemat ongkos.

“kuy,” ajaknya. Aku mengangguk, mengekori langkahnya, “sini dong. Uda kaya pembantu gue aja jalannya dibelakang.” cibir Mba Tika dengan nada jenaka, dan menarik tanganku untuk berjalan disisinya. Mba Tika ini, sudah bekerja disini selama hampir delapan tahun. Dia dua tahun lebih senior dariku disini. Aku masih ingat saat pertama kali aku bertemu dengannya.

hei! Lo anak baru kan? Kenalin! Gue tika. Uda dua tahun sejak gue kerja disini, selamat datang.” itu kalimat pertama yang ia ucapkan saat aku sedang memfotokopi suatu berkas sendirian. Ia bahkan menawarkan diri untuk membantuku. Dulu, sebelum aku menjadi bagian dari marketing, aku hanya anak magang untuk departemen SCM. Mba Tika terlebih dahulu mendekatiku. Aku tersenyum mengingat masa-masa itu.

“naik!” titah Mba Tika. Aku memandang motor vespa merah jambunya.

 Aku memandang motor vespa merah jambunya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“halo melody, apa kabs.” ujarku, membuat Mba Tika tertawa. “baik onti.” aku ikut tertawa. Menepuk kecil tempat duduk vespa pink ini.

“lucu ya mba, masih ingat ga dulu kita naik ini buat dateng ke acara nikahannya mba tya.” Mba Tika terlihat mengingat-ngingat, kemudian dia bertepuk tangan layaknya anjing laut dengan antusias.

“iya! Inget-inget, mana pas kita mau pulang, melodynya hilang lagi, Yakan?” aku mengangguk, jadi tuh ceritanya gini, saat Mba Tya menikah, Mba Tika mengantarku ke pernikahan Mba Tya, saat kami ingin pulang, vespa milik Mba Tika menghilang, rupanya dipindahkan oleh tukang parkir ke tempat lain. Katanya, sepeda motor Mba Tika ini hampir ditabrak oleh mobil sedan. Aku masih ingat umpatan-umpatan Mba Tika saat berbicara dengan Melody--vespanya Mba Tika, karena berani-beraninya ada yang mau menabrak Melodynya.

Aku sedikit tertawa saat bernostalgia. “uda ah, kuy. Ketawa-ketawa kaya gini, ntar kita dikira orang gila.” ujar Mba Tika membuatku naik keatas vespanya. Ia menyerahkan helm kecil kepadaku. Suara nyaring itu mulai terdengar sepanjang jalan dari kantor menuju rumah Mba Tika yang tak begitu jauh jaraknya. Hanya 3 Km saja, kami sudah sampai.

Baru saja sampai di depan teras rumah Mba Tika, suara nyaring anak-anaknya sudah terdengar.

“Bundaa!!” aku tersenyum melihat dua putranya Mba Tika itu menerjang tubuh Mba Tika.

Mba Tika tertawa geli, saat kedua putranya itu menghujaninya dengan ciuman. “aduh, jangan dong. Mama kan belum mandi. Masih bau.” Anak-anak Mba Tika menggeleng, “Mama engga bau kok.” ujar anak Mba Tika yang paling besar, Rizal. Rizal hanya lebih besar lima menit saja dari Reihan--adik kembarnya.

“eh tante.” Reihan memandangku. Meraih tanganku dan menyalaminya dengan sopan. Diikuti Rizal. Aku tersenyum senang. “happy birthday sayang. Maaf ya, tante ga bawa hadiah apa-apa. Besok, tante titip mama kalian deh hadiahnya. Jangan ngambek sama tante ya.” Reihan dan Rizal serentak menggeleng. “engga kok tante, gapapa. Ayuk masuk tan.” mereka berdua, kompak menarik tanganku. Aku memutar kepalaku menatapi Mba Tika yang bersedekap di depan Melody dengan senyuman tipisnya. Ia memberikan isyarat tangan yang menyuruhku untuk masuk saja terlebih dahulu.

A Whole New World. ✔️Where stories live. Discover now