Nadella tertawa, apa yang dikatakan Arya dan Vian memnang benar. Bila Arya sudah angkat bicara, mendadak mereka merasa seperti sangat tidak mengetahui apa-apa.
Tiba-tiba lampu padam, dari balkon rumah Arya mereka bisa melihat panerangan satu kota yang meredup perlahan.
"Ah, skripsiku! Revisinya belum kusimpan!" Arya memekik histeris begitu laptopnya yang sedang mengisi daya spontan mati.
Riva tak kalah panik. "Baterai laptopku juga tinggal sedikit! Mana algoritmaku belum selesai!"
"Hapalanku!" keluh Arya pula. "Kenapa harus ada pemadaman lagi, sih!"
Nadella menyalakan senter ponselnya. "Kenapa kalian begitu kesal dengan pemadaman listrik?"
Riva mencebik. "Karena kita tidak bisa melakukan apa-apa tanpa cahaya, Della."
"Oh, ya?" Nadella tersenyum. "Kalau begitu coba lihat ke atas."
Serempak Riva, Arya, dan Vian mengangkasakan pandangannya.
"Wah! luar bisa!" Riva berdecak kagum memandangi ribuan bintang yang kini terlihat jelas di atas sana.
"Indah, kan?" Nadella memandang langit dengan bahagia. "Beginilah kehidupan. Saat berada di tempat yang terang, kita bisa melihat jalan dengan jelas tanpa khawatir akan terperosok ke dalam lubang. Tapi kita akan melewatkan keindahan bintang-bintang di angkasa."
Arya, Riva, dan Vian yang hanyut dalam pemandangan indah itu melenggut dan bergumam membenarkan.
"Sebaliknya saat berada di tempat gelap, kita tidak bisa melihat jalan, kita bisa tersandung kerikil ataupun jatuh ke dalam lubang. Namun kita bisa menikmati panorama langit dengan jelas seperti ini." Nadella menyambung.
Riva merangkul Nadella di sebelahnya. Sisi Nadella yang bijak dan mampu menenangkan suasana membuatnya merasa nyaman.
"Tapi bicara tentang bintang, bagiku ada tiga bintang paling terang di dunia ini," celetuk Nadella lagi.
"Tiga?"
Nadella mengangguk. "Mereka ada di sini. Di hadapanku sekarang."
"Kami?" Riva tertawa. "Hahaha ... bagaimana bisa kami?"
"Bisa." Nadella kemudian mengeluarkan tiga buah pin dari dalam ranselnya.
Riva, Arya, dan Vian masing-masing menerima satu.
"Kalian semua hebat dan bersinar seperti bintang." Nadella mengacungkan kedua jempolnya.
"Prof. Riva!" Riva menepuk dadanya dengan bangga.
"Prof. Arya!" Arya membaca tulisan di pin miliknya. "Keren! Terima kasih, Del." Arya langsung mengaitkan pin tersebut di bajunya.
"Dokter Vian?" Vian menaikkan sebelah alisnya. "Aku belum jadi dokter. Ini hanya akan menjadi beban, tahu!" kilahnya pura-pura tidak suka.
"Ini harapan sekaligus doa, Vian." Nadella tersenyum, mengabaikan perkataan Vian, ia langsung menyematkan pin tersebut di kemaja calon dokter yang selalu bersikap dingin padahal sebenarnya sangat perhatian itu.
"Punyamu mana, Del?" tanya Riva saat menyadari pin tersebut hanya untuk mereka bertiga.
"Aku tidak punya."
"Kenapa tidak?"
"Karena ... ya, tidak ingin punya saja." Nadella kembali memandang langit. Angin malam yang berhembus membelai wajahnya, menyibak sedikit anak rambutnya ke belakang. Ia menoleh pada Riva. "Sepertinya aku tidak ada waktu untuk itu."
YOU ARE READING
Prescriptio☕
Mystery / ThrillerMenjadi mahasiswa farmasi yang super sibuk seolah cobaan yang belum cukup bagi Rama dan kawan-kawannya. Berbagai kejadian misterius terjadi pada orang-orang yang memiliki masalah dengan salah seorang di antara mereka. Ketika persahabatan diuji oleh...
27. Climacter☕
Start from the beginning
