"Arya ... Vian ... Riva ...," panggilnya hampir tidak kentara. "Jadilah ... bintang-bintang."
"Aye-aye capten!" Arya mengangkat tangannya, memberi gestur hormat seperti candaan mereka dahulu. Air matanya terus berlinang.
"Permintaan dikonfirmasi!" Riva ikut menirukan gaya khas Nadella saat berbicara yang kemudian secara tidak sengaja menjadi ikonik bagi mereka berempat.
Nadella tertawa tanpa suara, ia kemudian memutar kepala menghadap Vian yang masih tergemap.
"Vian ...?"
"Jangan katakan apapun!"
"Jadilah dokter yang hebat."
Vian memalingkan wajahnya, sungguh menyakitkan mendengar permintaan Nadella itu.
Tak berselang lama, monitor saturasi oksigen di samping tempat tidur tiba-tiba berbunyi. Nadella menarik napas pendek berkali-kali. Genggamannya pada tangan Arya, Riva, dan Vian yang menyatu semakin kuat.
"Arya ... Vian ... Riva ... aku sangat ... menyayangi ... kalian." Nadella berujar rendah bersamaan dengan hembusan napas terakhirnya.
"Tidak! Della, tunggu! Jangan pergi!" Riva meremas tangan Nadella yang sudah terkulai lemah.
Arya langsung memeluk erat tubuh Nadella yang sudah tidak menyatu dengan rohnya lagi.
"Umumkan waktu kematian pasien," perintah ayah Vian pada salah satu dokter senior.
Vian yang masih tidak percaya terbeliak. "Apa maksud ayah?!" pekiknya. "Della masih hidup!"
Riva dan Arya semakin tak kuasa melihat reaksi Vian.
"Kenapa ayah diam saja?!" Vian berbalik pada satuan tim medis yang hanya menatapnya nanar. "Kenapa kalian semua diam saja?! Ambilkan defiblator! Lakukan pacu jantung!"
Ayah Vian segera menenangkan anak semata wayangnya. Ia paham, Vian dokter muda yang belum memiliki banyak jam terbang. Melihat roh yang berpisah dari tubuhnya memanglah sesuatu menyakitkan. Apalagi pasien pertama selama masa koas yang meninggal dunia dengan disaksikan mata kepala Vian sendiri adalah Nadella, sahabat sekaligus cinta pertamanya.
"Perintahkan intubasi, Ayah!" Vian berlutut pada ayahnya. "Kumohon padamu, perintahkan intubasi ...!"
Ayah Vian menarik tubuh putranya dan menepuk kedua pundaknya. "Kamu paham aturannya, Nak. Tegarkan dirimu."
Vian menggeleng, ia belum menyerah. Vian melepaskan tangan ayahnya lalu naik ke atas bed dan melakukan kompresi. Menekan dada Nadella dengan kedua telapak tangan yang diletakkan saling tumpang tindih.
"Della, bangun! Jangan berpura-pura begini!" Vian mengerahkan seluruh energinya, menumpukan berat tubuh bagian atasnya untuk terus menekan. Peluh dan air matanya bercampur menjadi satu. "Ayo berdetaklah jantung! Berdetak! Berdetaklah! Tuhan, aku mohon kembalikan detak jantung ini!"
"Hentikan, Vian! Tidak ada gunanya!" Riva menarik Vian.
"Berhenti?! Berhenti, katamu?!" Vian menoleh dengan tatapan mata menyalang pada Riva yang kantung matanya membengkak. "Ini Della!"
"Aku tahu itu Della, maka berhentilah!" Suara Riva ikut meninggi.
"Kamu pikir aku tidak tahu kalau selama ini kamu juga menyukai, Della? Bagaimana mungkin kamu menyuruhku untuk berhenti!"
Riva menatap Vian dengan sendu. "Berhentilah! Berhentilah ... karena itu akan semakin menyakiti Della ...," ujarnya kemudian tersedu lagi.
Arya bersicepat meraih Vian yang langsung meringsut ke lantai.
YOU ARE READING
Prescriptio☕
Mystery / ThrillerMenjadi mahasiswa farmasi yang super sibuk seolah cobaan yang belum cukup bagi Rama dan kawan-kawannya. Berbagai kejadian misterius terjadi pada orang-orang yang memiliki masalah dengan salah seorang di antara mereka. Ketika persahabatan diuji oleh...
27. Climacter☕
Start from the beginning
