27. Climacter☕

Mulai dari awal
                                        

"Della sadar!" terdengar Riva berseru. "Della membuka mata!"

Vian langsung bangkit, memberanikan diri menghadapi Nadella yang tampak kepayahan menyesuaikan pernapasaannya.

Arya menghapus jejak-jejak air matanya dan membantu Nadella menggerakkan tangannya yang begitu lemas.

"Jangan dilepas, Della ...," tutur Arya lembut, berusaha menghalangi Nadella yang ingin melepas sirkuit napasnya. Namun Nadella bersikeras, terlihat ia ingin mengatakan sesuatu.

Seorang perawat bergerak untuk mengambil tindakan, namun ayah Vian menahannya.

"Tapi, Dokter ...."

Ayah Vian menunjuk monitor pasien dengan isyarat mata. Perawat tersebut memandang sedih parameter-parameter di sana yang jauh dari standar kehidupan.

"Red flag," lirik Ayah Vian.

Beberapa dokter yang berada di sana berbalik spontan. Red flag adalah kode untuk pesan jangan mencoba resuitasi. Perintah agar tidak melakukan upaya penyelamatan dalam bentuk apapun.

"Dengan mempertimbangkan keadaan pasien." Ayah Vian menutup mata dan menelan ludahnya dengan berat. "Melakukan itu hanya akan membuatnya makin tersiksa."

Seorang dokter muda wanita, teman sejawat Vian yang mengenal Nadella menutup mulutnya dan mundur perlahan. Dengan tanda-tanda vital yang demikian, memang mustahil bagi Nadella untuk bangun dengan upayanya sendiri. Mungkin karena Nadella adalah orang yang sangat baik hati, Tuhan memberinya kekuatan untuk bangkit di saat-saat terakhirnya.

Nadella yang sudah sepenuhnya membuka mata memandang Arya, Riva, dan Vian lekat-lekat. Air mata mengalir melalui kedua sudut matanya.

"Arya ... pulang ...," ujarnya serak sambil tersenyum.

"Iya, Del! Aku pulang!" Arya mengecup tangan Nadella yang digenggamnya.

"Jangan dipaksa Della, pelan-pelan saja," kata Riva lembut, merapikan rambut panjang Nadella.

"Sa-sakitkah, Del?" tanya Vian yang kembali memulai tangisnya.

Nadella kembali tersenyum. "Tidak sakit. Aku ... hanya ... mengantuk saja," balasnya pelan.

Arya mengatupkan bibir, menahan rasa sesak yang menghujam batinnya. Firasatnya mengatakan bahwa masa-masa kritis ini sebentar lagi akan berlalu dengan membawa serta Nadella mereka.

"Bintang ...."

Riva buru-buru mendekatkan telinganya pada Nadella yang kini terdengar bergumam.

"Aku ... ingin ... melihat ... bintang ...."

Mengerti dengan maksud Nadella, Arya, Riva dan Vian bergerak tanpa dikomando. Arya menarik pin berbentuk bintang pemberian Nadella yang setia dipasang di ranselnya. Riva melakukan hal yang sama pada tas jinjing laptop yang selalu dibawanya tiap saat. Vian pun membuka pin serupa dari Snellinya.

Nadella tersenyum, senyum yang sangat manis. Bahkan senyum termanis dari semua senyuman yang selalu ia tunjukkan. Jemarinya menyentuh ketiga pin yang disodorkan Arya, Riva, dan Vian. Mereka benar-benar menjaga pemberian yang sebentar lagi akan menjadi wasiat darinya itu.

Tiga pin berbentuk bintang bertuliskan nama beserta gelar yang Nadella harapkan akan diraih ketiganya.

Dr. Vian, untuk Vian yang kuliah kedokteran.

Prof. Arya dan Prof. Riva, untuk Arya dan Riva yang berkonsentrasi di bidang Sains.

Nadella merengkuh tangan Arya, Vian, dan Riva. Matanya ikut berkaca.

Prescriptio☕  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang