"Arya!" Afri menyambut Arya dan memapahnya hingga sampai di pintu utama ruang ICU. Beberapa teman jurusan Della telah menunggu di sana.
"Bagaimana Della?" Arya berujar parau.
Afri dan teman-temannya saling melempar pandangan.
Arya mengguncang bahu Afri yang membungkam. "Bagaimana keadaan Della?! Aku bertanya!"
"Untuk sekarang ...," Afri mengulur waktu, mencoba menemukan kalimat yang tepat, "kita hanya bisa mendoakan keselamatannya."
Deg! Hati Arya teramat perih mendengar penuturan Afri. Tanpa menunggu lagi ia memaksa masuk, menerobos perawat yang berjaga di balik pintu.
"Biarkan dia masuk." Seorang pria yang mengenakan jas putih, berbadan tegap, dan penuh wibawa menarik Arya dari dua perawat laki-laki yang mencekalnya. Dia adalah ayah Vian, dokter kepala di rumah sakit tersebut.
Arya hanya membungkukkan badan sebagai tanda terima kasih kemudian berjalan dengan kaki gemetar ke salah satu bilik yang dibatasi dinding kaca.
"Della ...."
Arya terpaku, air matanya tumpah ruah begitu melihat Nadella terbaring lemah dibantu serangkaian alat ventilator. Matanya terpejam erat sedang bibir mungilnya yang senantiasa tersenyum kini mengatup rapat dan membiru, seperti detak jantungnya terlalu lemah untuk mengaliran darah sampai ke sana.
Di sebelah Nadella, Riva sesunggukan sambil menggenggam tangannya. Adapun Vian terduduk di lantai dengan tatapan kosong, matanya sembab dan penampilannya berantakan. Baru kali ini Arya mendapati kedua sahabatnya itu dalam kondisi sedemikian kacau.
Arya menyeret kakinya untuk mendekat. Riva yang baru menyadari keberadaanya lekas berdiri dan menyambutnya.
"Welcome home ...." Riva berusaha tersenyum dengan bibir bergetar. "Maaf tidak menjemputmu. Della ...."
Arya memeluk Riva yang tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Isakan Riva membuat air matanya turut mengalir deras. Arya bisa melihat Vian yang menunduk dengan bahu berguncang. Sebenarnya ia pun ingin menghampirinya, namun dokter koas itu masih terlihat syok. Arya paham betapa terpukulnya mereka berdua yang setahun belakangan ini masih terus bersama Nadella.
Riva melonggarkan pelukannya, memberi ruang bagi Arya untuk menghampiri Nadella.
"Del ... ini aku, Arya. Aku pulang Del ...," bisik Arya di telinga Nadella sambil menyapu rambut di dahinya yang begitu dingin. Sebelah tangan Arya menggenggam tangan Nadella, meletakkannya di dadanya. Berharap denyut jantungnya bisa merambat, membagi frekuensi untuk gelombang EKG Nadella yang begitu lemah.
Tidak ada jawaban maupun pergerakan. Hanya irama rekam jantung di layar bedside monitor yang menegaskan bahwa Nadella masih berada di tengah-tengah mereka.
"Del ... bangun." Arya menggenggram erat tangan Nadella. "Bukankah kamu ingin menyusulku ke Oxford bersama Riva dan Vian? Kita akan bermain salju dan keliling Eropa sama-sama, kan?"
Mendengar Arya bermonolog sendiri membuat Riva makin tersedu.
"Aku membawakanmu banyak oleh-oleh, Del. Aku juga membawa simplisia daun mapple seperti yang kamu minta. Kamu akan membuat ekstraknya, kan? Kamu akan menemukan senyawa baru anti-resistensi itu, kan?" Arya memeluk Nadella. "Kumohon, bangunlah Della ...,"
Vian tersenyum kecut. Ia pernah menertawai mimpi Nadella itu, bahkan menyebutnya tidak mungkin terjadi. Sekarang ia termakan kata-katanya sendiri. Melihat Nadella dengan harapan hidup sangat rendah membuatnya hatinya hancur berkeping-keping. Sesaat setelah kembali menunduk, Vian seketika menengadahkan kepala lagi. Memastikan apa yang dilihatnya barusan tidak salah. Jari tangan Nadella bergerak.
YOU ARE READING
Prescriptio☕
Mystery / ThrillerMenjadi mahasiswa farmasi yang super sibuk seolah cobaan yang belum cukup bagi Rama dan kawan-kawannya. Berbagai kejadian misterius terjadi pada orang-orang yang memiliki masalah dengan salah seorang di antara mereka. Ketika persahabatan diuji oleh...
27. Climacter☕
Start from the beginning
