"Bukan apa-apa." Riva kembali merengkuh Chelia. Dalam hati ia bersyukur Chelia tidak bertanya macam-macam atau meminta berkas tentang keluarganya yang lain.
Sebab akan terasa ganjil bila Chelia tahu ayahnya masih hidup dan dalam keadaan baik-baik saja di sana, sementara pihak wali sepenuhnya berada dalam tanggungan Riva.

"Kak Riva, aku ingin menanyakan sesuatu."

Riva tersentak. "Apa itu?"

"Kak Riva pernah bilang kalau Kak Riva mendirikan Notix bersama kak Arya dan satu teman Kak Riva lagi dari jurusan farmasi, kan?"

Riva melenggut perlahan.

"Siapa teman Kakak dari jurusan farmasi itu?"

Jeda yang cukup lama sebelum Riva menjawab. "Della. Nadella Adannaya. Perempuan yang sangat baik."

Netra Chelia berfokus pada satu titik, berusaha menggali sesuatu dalam memorinya. Chelia ingat Riva memang selalu menyebut-nyebut nama tersebut di masa lalu.

"Kalau begitu, kak Della itu seniorku di angkatan ketiga kan, Kak?"

Riva kembali mengiyakan.

"Lalu sekarang di mana kak Della?" Chelia merasa janggal tidak pernah mendengar Riva menyinggung perihal Nadella Adannaya yang merupakan teman baik kakakya itu seperti halnya Arya dan Vian.

"Dia ada di tempat yang sangat baik sekarang."

"Hmm ... apa kak Della bekerja di luar negeri seperti ayah?"

"Bukan, Sayang."

"Lalu di mana?"

Riva tersenyum getir, matanya tampak berkaca, ia membelai rambut Chelia yang menatapnya bingung. "Kak Della sekarang ada di surga."

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Menjadi identik ternyata tidak selalu sehati-sepemikiran. Itulah yang terjadi pada saudara kembar Rafa dan Rafi saat ini.

Rafa melirik Rafi yang membuang muka, melemparkan pandangannya ke luar jendela. Rafa baru saja melakukan kesalahan besar. Dengan sangat tidak sengaja ia mencelupkan ponsel milik Rafi ke dalam kolam ikan di taman fakultas.

Diawali dengan Rafa yang kesal karena kalah saat bermain game, aksi dorong mendorong di antara mereka pun terjadi. Tapi sungguh, Rafa tidak berniat untuk bertindak sampai sejauh itu. Rafi adalah replika yang sangat Rafa sayangi. Jangankan mengalah perihal game, mereka bahkan pernah berbagi ruang dan sari makanan dalam satu plasenta.

Rafa menarik napas dalam-dalam kemudian mencoba membuka percakapan. "Kembar ...," panggilnya.

"Apa ...." Rafi menjawab tanpa menoleh sedikit pun.

"Kamu masih marah?"

"Kira-kira?"

"Ya, maaf. Aku kan, tidak sengaja. Untuk sementara pakai punyaku saja." Rafa menyodorkan ponselnya. "Awal semester nanti aku janji menggantikanmu yang baru."

"Memang kamu ada uang?"

"Aku akan mengambil cuti. Uang SPP dari mama kamu ambil saja buat beli HP baru."

"Kamu mau cuti?!"

"Mau bagaimana lagi, asal kamu nggak bilang ke mama saja."

Rafi bergeming beberapa saat lalu tanpa aba-aba memeluk Rafa. "Jangan! Kalau kamu cuti, siapa yang temani aku di sini! Ponsel itu tidak ada apa-apanya dibanding keberadaan kamu! Aku tidak mau berbuat dosa sendirian, nanti di neraka aku sama siapa?"

"Kalau begitu jangan marah." Rafa balas memeluk Rafi dan mereka pun saling berdamai.

Rean menyaksikan itu dengan nanar. Ada perasaan sesak di hatinya. Bila bukan karena Dandy, mungkin sekarang ia masih bisa merasakan hal serupa. Rean menarik napas dalam-dalam. Itu hanya sebuah luka di masa lalu dan tidak ingin diceritakannya untuk saat ini.

Prescriptio☕  Where stories live. Discover now