Bus kembali melaju. Sebentar sebuah truk pengangkut barang melintas di sebelah kanan, menghalangi sisa-sisa cahaya yang bermuasal dari lembayung senja. Demikian utuh truk melaju lebih cepat, tak seorang pun mengindahkan.

Jika diizinkan untuk jujur, pasalnya saat ini hati sang empunya gundah. Sangat serupa dengan apa yang tengah dirasa oleh kepala. Pun teramat lelah ia memikirkan segala hal yang terjadi.

Di kafe, semuanya justru baik-baik saja. Mereka benar-benar berjumpa. Mereka berbincang. Ya mereka berbicara. Mereka bernostalgia. Sangat disayangkan keduanya tak mampu mengembalikan waktu.

Dan satu hal penting yang semestinya Aoi mengerti.

Lantas Kirika akan pulang dengan tangan kosong.

Sementara Aoi sama sekali belum berunding dengan anggotanya. Sang empunya manik obsidian justru memilih terpejam sembari ia menyandarkan kepala di kaca.

Hati akhirnya mulai bertanya-tanya. Apakah ini hal yang benar-benar kuinginkan?

Keningnya mengernyit sakit. Desah berat ia hembuskan guna menahan cekat di dalam tenggorokan. Sang empunya hati tidak paham mengapa jantungnya berdebar tak mengenakkan.

Lantas mengalihkan perasaan yang hendak menguasainya, Aoi segera merogoh saku jaket dan mendapatkan secarik kartu nama Silvis dari sana.

Cukup lama ia termenung sebab mulai terekam ulang peristiwa kemarin. Dia benar-benar mengusir rombongan Alford dan menolak tawaran Silvis. Dalam hati, pula ia mengumpat. Merasa bodoh atas kelakukannya kala itu.

Perasaan bersalah kembali membuncah. Atas pelampiasannya, sekali lagi ia menghela napas seusai menggeleng pelan.

"Apa yang harus kulakukan?"

"Bagaimana jika mulai mendiskusikan hal itu bersama mereka?"

Sukses jawaban itu membuat Aoi terkesiap, kontan mengangkat pandangan. Dia mendapati sang Ibu yang tengah tersenyum teduh.

Sebentar Aoi tertegun. Indera penciumannya mulai peka terhadap bau obat-obatan yang perlahan menyeruak. Nyaris manik obsidiannya tak menghiraukan gorden yang melambai digoda angin.

Kali ini ia tak sempat mengedarkan pandangan seperti yang sudah-sudah. Maniknya segera tertuju kepada Hikari.

"Kadang-kadang diperlukan kepala yang dingin sebelum memutuskan sesuatu." Hikari melanjutkan petuah. "Pula jangan sering mendengarkan firasat dari hati. Mereka hanya mendukung perasaan, tahu."

Di luar sana, burung terbang pulang ke sarangnya, menyempatkan diri untuk bercicit seolah tengah berpamit. Sebentar pandangan Hikari teralih kepada mereka sebelum beralih kepada tangannya yang meraih tangan Aoi.

"Jika kamu meminta pendapat Ibu, Ibu percaya kalau Alford itu perusahaan yang baik." Kembali Hikari berceloteh kala ibu jarinya mulai mengusap tangan anak semata wayang. "Tapi Ibu lebih memercayakan apa pun pilihan kalian."

Lama ia berpaku tatap kepada tangan Aoi yang mempererat genggaman. Senyum yang Aoi rasa bijak darinya belum juga surut. Namun percayalah, manik obsidian mungilnya tampak sendu. Tak sanggup memerhatikan pandangan itu lebih lama, lantas Aoi menurunkan pandangan.

"Setelah ini ... kita pulang ke Nagano bagaimana?"

Singkatnya lengkap dengan kedua alis yang terangkat, Aoi mengembalikan pandangan.

"Jika aku berada dalam kondisi prima ... minggu depan aku sudah bisa operasi," ujar Hikari.

Tertegun Aoi mendengarnya. Entahlah, barangkali sang ibu memang senang berpikiran naif. Tapi ... dari mana ia bisa mendapatkan biaya operasi itu?

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Where stories live. Discover now