Kasus 07, Sastra Indonesia Luna Lumbridge, Bagian Putri Gregoria

50 4 1
                                    

(Waktu sedikit dimundurkan beberapa saat sebelum penemuan mayat)

Kuburan belakang gunung, pukul 12 siang.

Asa membuka sedikit jas labnya, sedikit menyesal karena memakai pakaian berlapis lapis untuk keluar sekolah. Panas. Kuburan memang tempat sunyi dan gelap tertutup rerimbunan pohon, tapi tetap saja itu panas di siang hari.

Laki-laki itu memperhatikan bagaimana Anne berjalan memutar-mutar kebingungan, Sia Lee dengan kesibukannya membunuhi rumput tak berdosa, serta Muna yang menyusuri kuburan dengan tenang.

Diantara ketiganya, Asa mendatangi Anne lebih dahulu. Perempuan berkacamata dilengkapi sepaket rambut berketombe miliknya menoleh, menyambutnya gugup namun masih ramah.

"Kenapa kita ke kuburan?" Tanya Anne. "Sekali lagi, kenapa kita ke kuburan?"

"Kita hendak darmawisata klub"

"Hanya orang gila yang pergi ke kuburan untuk wisata" Jawab Anne

"Kurasa, semua orang disini sebenarnya gila." Kata Asa tak mengeyampingkan dirinya.

"Aku dan Muna tak gila. Tetanggaku pernah cerita tanda-tanda gila ialah adanya tanda skifronazia, halusinasi seolah kau meminum Mickey Finn, LSD atau jamur beracun."

"Sia Lee?" Tanya Asa memastikan

"Sosiopat pada dasarnya bukan gila. Secara mental mereka sadar, hanya saja tombol di otaknya mungkin kesetel overload hingga konslet" Jelas Anne "Maksudku, ada orang jenius, dan ada juga orang idiot. Sia Lee adalah orang yang melampaui keduanya"

"EHEM EHEM!" Seseorang berdehem. Merasa digosipkan, Sia Lee mengangkat segenggap rumput dan mencoba memasukkannya secara kasar ke mulut Anne. Sang ketua kelas berpura-pura berjongkok sedikit dan menarik kaki Sia Lee hingga terhuyung, rumput rumput berjatuhan dari tangannya.

KREEK!

"Oh! Apa tengkorakmu pecah, Sia Lee?" Tanya Anne bermata dingin. "Tetanggaku bilang itu adalah bunyi tengkorak pecah"

Sia Lee bangkit dari posisi setengah duduknya. "Pertama, laknat kau Anne! Kedua, kau berharap aku mati? Tidak, bunyi itu bukan dari apapun padaku" Sia Lee menunjuk lurus pada sebuah nisan. "Asalnya dari batu yang bergeser ini"

Mereka menoleh, Muna dari kejauhan ikut bergabung menyaksikan apa yang mereka lihat. Semuanya membaca kalimat DENI KURNOWO. 12 MEI 18?? (Tulisan tak jelas akibat dimakan waktu). Nisan itu kecil, hampir tak terlihat dengan pandangan sekilas tertutupi nisan nisan lain.

Anne, kaget dengan penemuan tersebut menggosok kacamatanya. "Wow! Benarkah apa yang kuliat? Deni Kurnowo?"

Asa menyahut "Siapa artis ini?"

"Bukan, dia bukan artis. Oh, kupikir kalian pasti pernah mendengarnya di sekolah. Deni Kurnowo, pendiri SMA Nusa Bangsa." Jelas Anne

"Hah? Sekolah ini bukannya baru berdiri? Tapi kenapa dia..." Suara Asa terputus, Anne langsung memotongnya.

"...meninggal tahun 1800an? Mudah saja, orang ini umurnya panjang. Meninggal di usia 115, menyaksikan perang perang, dan bergabung dengan klub kemanusian... aduh, aku lupa nama klubnya. Di akhir hidupnya, tahun 1900 dia mewasiatkan tanah ini untuk menjadi sekolah" Anne mengambil nafas sejenak,

"Kemudian, akibat sengketa pajak, tanah ini diambil penjajah, dan saat perang dunia tanah ini hilang sertifikatnya, hingga 8 tahun lalu, seorang ahli waris menemukan wasiat beserta sertifikat tanah ini di suatu pasar gelap dan mengambil klaimnya dari tangan pemerintah. Begitu kata tetanggaku."

Asa berkomentar. "Semuanya meyakinkan, hingga kau bilang 'begitu kata tetanggaku' heh!"

"Memang begitu kata tetanggaku!"

17 Kasus-Kasus Muna. (Book 1)Where stories live. Discover now