THE UPSIDE-DOWN WORLD

130 20 3
                                    

     Egan masih terdiam karena bingung mau berkata apa pada Claire yang nampak duduk dengan ekspresi geram di wajahnya. Tapi bagaimana pun juga, penting bagi Egan untuk tidak melibatkan Claire dalam masalah yang menimpa dirinya kemarin malam.

     "Claire, aku tidak ingin kamu terseret ke dalam masalah ini." ujar Egan akhirnya memecah keheningan.

     Claire memandang Egan dengan sengit.

     "Justru aku yang telah sembrono menyeret kamu ke dalam masalahku dan Alan." sahut Claire dingin.

     "Tapi, Claire-..."

     "MAS EGAN!!"

     Teriakan panik Rini membuat Egan spontan menghentikan kalimatnya. Rini berlari masuk ke rumah kontrakan Egan dengan tergopoh-gopoh sampai lupa mencopot sandalnya di depan pintu. Ia langsung menuju Egan dan meremas lengan baju Egan dengan ekspresi panik.

   "MAS, Mbah Lasmi... mbah Lasmi sakit lagi!" seru Rini sambil meremas lengan baju Egan. Rini mengatakannya dengan wajah pucat pasi.

    Egan langsung beranjak dari duduknya.

     "Claire, aku harus pergi." sahut Egan cepat.

     "Aku ikut." tanggap Claire singkat.

     Egan memandang Claire yang kini menatapnya dengan sorot mata penuh tekad. Egan sangat paham, akan sangat percuma melarang Claire untuk ikut. Maka Egan membiarkan Claire mengikutinya dari belakang.

     Egan dengan kaki jenjangnya bisa dengan sangat singkat sampai di rumah mbah Lasmi. Sebenarnya itu bukan rumah. Karena lebih layak disebut sebagai gubuk.

     Gubuk mbah Lasmi sudah sedikit doyong. Hanya terbuat dari papan-papan kayu berlapis yang sebagian besar mulai lapuk krena sama sekali tidak dicat maupun divernis. Pintunya terbuat dari kayu dengan gerendel besi yang sudah berkarat. Hanya ada beberapa pot tanaman sansivera di depan gubuk. Tanahnya sudah kering. Nampak sekali jika belum disiram selama beberapa hari karena mbah Lasmi sedang sakit.

     Claire terpaku sejenak melihat kenyataan di depannya. Sedangkan Egan langsung masuk ke gubuk mbah Lasmi tanpa menunggu Claire. Beberapa ibu-ibu paruh baya tetangga mbah Lasmi nampak menunggu dengan cemas di depan pintu gubuk.

     Claire akhirnya memberanikan diri mengikuti Egan masuk ke dalam gubuk mbah Lasmi. Setelah masuk, Claire tertegun hebat melihat kondisi di dalam gubuk. Gubuk itu ternyata sangat kecil. Jauh lebih kecil dari ukuran luas kamar mandi di kamar tidur Claire. Mungkin hanya berukuran 3 x 3 meter dan hanya berisi ranjang besi tua yang cat warna hijaunya sudah terkelupas di sudut ruangan tempat mbah Lasmi sedang terbaring sakit saat ini. Meski reyot, gubuk mbah Lasmi sebenarnya bersih. Hanya saja kondisi papan kayu dinding gubuk yang sudah mulai lapuk, membuat kondisi gubuk mbah Lasmi ini sangat memprihatinkan.

     Claire mendekat ke arah Egan yang nampak mengecek kondisi mbah Lasmi. Kemudian ia duduk berjongkok di samping ranjang mbah Lasmi. Saat itulah Claire baru bisa melihat kondisi mbah Lasmi dengan cukup seksama. Mbah Lasmi ternyata sudah sangat tua dengan rambut beruban yang diikat sekenanya. Mungkin sudah berusia di atas tujuh puluh tahun. Giginya sudah banyak yang tanggal. Badannya kurus hampir hanya tulang dibungkus kulit. Wajahnya pucat dan matanya separuh terpejam.
 
     "Sa-... sakit apa mbah Lasmi, Egan?" tanya Claire pelan dengan tenggorokan seperti habis menelan sebongkah batu. Claire sangat terkejut dan cemas melihat kondisi mbah Lasmi.

     Egan menoleh pada Claire dengan ekspresi prihatin.

     "Sakit paru-paru. Beliau tidak punya sanak saudara. Jadi kami di kampung ini merawat beliau bersama-sama." ujar Egan menjelaskan.

     "Mengapa tidak dibawa ke rumah sakit?" tanya Claire cemas.

     "Sudah pernah. Pernah sampai dua minggu dirawat di Rumah Sakit. Kemudian, karena keterbatasan biaya, beliau akhirnya dirawat jalan. Kami berpatungan untuk membeli obat-obatan yang diperlukan." jelas Egan.

     Claire membelalak kaget. Ia memandangi wajah mbah Lasmi yang nampak sangat kuyu. Kemudian Claire mendapati bahwa saat itu mbah Lasmi sedang mengenakan kaos oleh-oleh dari Claire saat berburu coklat di Bali.

     Mendapati hal itu, Claire tidak kuat lagi menahan emosinya. Dengan berlinang air mata, ia bergegas mengambil ponsel di dalam tas mungilnya lalu menelpon ambulance.

     "Egan, tolong kamu jelaskan dimana alamat kampung ini agar ambulance segera datang. Kita harus segera membawa mbah Lasmi ke Rumah Sakit." isak Claire beberapa saat kemudian dengan suara bergetar sambil menyodorkan ponselnya pada Egan agar Egan bisa berbicara pada operator Rumah Sakit yang akan mengirimkan ambulance-nya.

     Egan dengan sigap mengambil ponsel Claire dan menjelaskan alamatnya pada operator tersebut. Setelah selesai, Egan menoleh ke arah Claire yang kini duduk tersungkur di sebelah ranjang mbah Lasmi sambil berurai air mata. Jemari lentik Claire kini menggenggam jemari mbah Lasmi yang sepertinya sudah tidak sadar.

     "Egan..." panggil Claire dengan suara bergetar.

     Egan duduk berjongkok di samping Claire. Ia mendapati wajah Claire yang basah karena air mata kini berekspresi penuh tekad.

     "Aku akan bayar berapa pun biaya perawatan mbah Lasmi. Mbah Lasmi harus mendapatkan perawatan terbaik." lanjut Claire tegas.

     Egan tersenyum. Lalu memandang Claire dengan penuh rasa salut akan tekad Claire untuk membantu.

     "Ya. Aku akan pastikan mbah Lasmi mendapat perawatan terbaik." ujar Egan kemudian.

     Claire menghapus air matanya dengan punggung tangan. Lalu ia menarik napas panjang utuk menenangkan diri.

     "Claire, aku harus membopong mbah Lasmi ke ujung gang karena ambulance tidak bisa masuk. Tolong tunggu di ujung gang, ya? Lalu nanti saat ambulance datang, telponlah ke poselku." jelas Egan dengan suara penuh ketenangan agar Claire tidak panik lagi.

     Claire mengangguk. Lalu setelah mengambil ponselnya dari tangan Egan, Claire beranjak keluar gubuk mbah Lasmi dan berjalan dengan langkah cepat menuju ujung gang. Claire sudah tidak peduli lagi bagaimana penampilannya saat ini meski sudah pasti matanya sembab, rambutnya acak-acakan, dan pakaiannya kusut. Ia hanya terus berjalan cepat menuju ujung gang dengan hati berharap dan berdoa agar mbah Lasmi dapat segera ditolong.

     Tak seberapa lama, ambulance datang. Claire segera menelpon Egan agar membawa mbah Lasmi. Egan tidak membutuhkan waktu lama untuk membopong mbah Lasmi menuju ambulance. Tidak nampak raut wajah kepayahan pada dirinya.

     Setelah mbah Lasmi sudah dibaringkan di dalam ambulance dengan bantuan para perawat, Egan dan Claire ikut melompat masuk ke dalam ambulance untuk menemani mbah Lasmi ke Rumah Sakit.

     Sepanjang perjalanan menuju Rumah Sakit, Claire hanya mampu memandangi mbah Lasmi dengan rasa haru dan prihatin. Ada banyak hal berkecamuk di dalam dirinya. Baru kali ini Claire melihat kenyataan kehidupan lain yang jauh dari lingkungan hidupnya yang glamor. Claire mulai berpikir, jangan-jangan harga tas, pakaian, dan sepatu yang ia kenakan saat ini setara dengan biaya perawatan kelas satu untuk mbah Lasmi selama beberapa minggu di Rumah Sakit.

     Hal itu membuat perasaannya remuk dan kacau.

     Ternyata, hal-hal yang bagi Claire adalah suatu kesenangan belaka, bagi orang lain bisa bernilai untuk menyelamatkan nyawanya.

     Claire kini merasa dirinya sangat keterlaluan. Selama ini ternyata ia telah hidup terlalu berlebihan. Yang ia pikirkan hanyalah kerja, kerja, dan kerja untuk meraih sukses. Claire lupa bahwa ada hal-hal lain di dunia ini yang perlu menjadi perhatiannya sebagai seseorang yang dilebihkan rejekinya dari orang lain.

     Dalam satu hari itu, dunia Claire seperti jungkir balik. Ia tidak lagi memandang dunianya yang glamor sebagai sesuatu yang prestisius lagi. Karena Claire akhirnya menyadari bahwa hal yang prestisius adalah saat sebagai manusia, ia bisa menggunakan apa yang ia miliki untuk membantu orang lain semampu yang ia bisa.

CLASSY MEANS BEAUTIFULOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz