45 | Permutasi (part 2)

821 194 26
                                    

Averus bersiul riang. Malam itu dia akan mendapat semacam promosi pekerjaan baru, sesuai janji Frans—bonus makan malam mewah tentu saja. Akan tetapi, perasaannya mendadak tidak enak ketika turun dari mobil, entahlah. Padahal selama beberapa menit ke depan, semuanya berjalan normal. Frans menyambut dengan suka cita, begitu juga dengan Stenver yang sudah duduk duluan. Walaupun ada beberapa orang yang tidak Averus kenal—tentu sebuah hal yang bagus bukan ketika Frans mengundang beberapa rekanan?

Obrolan mereka pun seputar seni arsitektur, perlombaan olahraga, dan segera berakhir setelah Frans menyuruh pegawai rumahnya merapikan piring. "Baik, hadirin sekalian. Sudah saatnya kita membicarakan sesuatu yang sangat penting."

"Oh, terdengar seperti masa depan yang lebih bagus." Averus berusaha mencairkan suasana dengan senyuman lebar yang seharusnya disambut hangat dengan Frans. Akan tetapi justru sebaliknya, konglomerat itu langsung merasa sangat bersalah. Dia bahkan tidak berani memandang mata Averus sekarang. Kenapa?

"Begini ...," suara Frans menjadi sangat pelan, "sayangnya penempatan yang kumaksud tidak berada di Ares. Besok, pagi buta, kau harus ikut bersama mereka."

Alis Averus menyatu di tengah. "T-tapi ke mana?"

"Soteria." Stenver menjawab dengan cepat. "Kau bilang akan membantu Ares, bukan?"

Averus sudah bisa menyimpulkan, dengan cepat dia memajukan kepala mendekati Stenver dan Frans. "Kita sudah sepakat soal ini!"

"Averus," Frans kini menatap matanya baik-baik, "jujur aku ingin menahanmu di sini, selama mungkin. Tapi ini perintah presiden, dan bukan hak kita untuk menolaknya."

Mata merah Averus berkaca-kaca. Padahal dia hanya ingin satu hal saja. Hidup tenang dengan keluarga kecilnya, menua bersama mereka.

"Frans, por favor." Averus masih berharap sahabat SMAnya itu tidak setega ini. Namun Frans hanya merendahkan bola matanya sambil menggeleng.

Beberapa detik berlalu dengan hening, saat Stenver membenahi kerah dengan sebuah isyarat mata kepada Averus. Itu adalah kode, sebab Averus tidak memakai dasi, dan Stenver sudah tahu kalau Averus menaruh batu Hexagon kecil di balik sweter motif Argyle itu.

Tanpa pikir panjang, Averus meremas kalungnya sambil berkonsentrasi. Spontan, lampu-lampu berkedip, energi di dalam ruangan itu terserap dan disalurkan menuju kedua tangan Averus. Bentukan seperti plasma pun membesar dan kian mengerikan. Seisi ruangan berhamburan, saat lecutan listrik dari tangan Averus memantul di lantai, dan membuat semua benda di ruang makan berserakan. Sementara tubuh Averus terpental ke belakang, menghancurkan pintu kaca buram di samping kanan, kemudian sadar bahwa badannya telah berpindah ke ruang tamu sejauh beberapa meter. Beberapa pasang mata menyambutnya dengan nanap, tak terkecuali seorang anak laki-laki berambut hitam.

<<<>>>

Arvin sedang mendorong mobil-mobilan di ruang tengah saat televisi menyiarkan berita sela. Video kejadian di rumah Frans diputar, dan Arvin langsung mengenali sosok berambut ungu sedang lari di antara loncatan listrik. "Ibu, Ayah ada di TV! Cepat, lihat!"

Anak kecil itu melompat kegirangan, membuat Immata yang sedang menguleni adonan roti untuk besok pagi lekas mendatanginya. Arvin tidak terlalu paham pemandangan selanjutnya. Kamera amatir yang bergoyang menyorot seorang pria. Dia sedang sekarat memegangi dada, sementara orang lain berteriak histeris, lantas tiba-tiba gambar diubah menjadi seorang penyiar perempuan.

"... kejadian pukul 20:32 waktu setempat, telah terjadi penyerangan di rumah Menteri Luar Negeri, Francesco Russel. Diduga pelaku ada hubungannya dengan Soteria, yang saat ini sedang mengadakan diplomasi da—"

Immata segera menyetop tayangan tersebut, Arvin justru berteriak protes. Immata menghela napas dan membuang remote. "Tidurlah, besok harus berangkat pagi! Atau kau mau kujadikan selai roti?"

Saat Arvin pelan-pelan menyeret kaki ke kamar, Immata memegangi dahi yang mendadak terasa berat.

<<<>>>

[Evareste, Ares | 23 Februari Z-10]

Salju siang itu terasa seperti daun di musim gugur. Emily mendadak lupa, padahal dia sedang bergegas menuju rumah. Elson menarik lengan jaket tebalnya, dan serta merta menggigit bibir Emily yang kemerahan. Jika mantan Elson tidak berteriak bersama dengan teman perempuannya yang lain—menyoraki Emily si anjing betina, perebut pacar orang, dan lain sebagainya—mungkin Emily akan berpikir untuk membalas Elson, barang sejenak.

Geram, pemudi itu mendorong tubuh si jangkung Elson. Selama ini, Emily tidak pernah menolak jika dicap sebagai anak rumahan yang munafik, pengkhianat klub tari, penyontek saat ujian, bahkan sempat diisukan sebagai pengedar narkoba di sekolah. Akan tetapi itu semua tidak sebanding dengan julukan kotor dari para perempuan yang sakit hati karena pacarnya lebih tertarik dan berusaha meniduri Emily.

"Em—"

"Berhentilah!" Emily menarik dan menjauhkan tubuhnya dari Elson, yang terus mengejarnya mirip kucing kelaparan. "Kau tidak dengar mereka?! Aku bukan gadis baik seperti yang kau kira."

Entah sihir apa yang memikat Elson dan beberapa laki-laki sebelum dia, tubuh Emily tetap berusaha dihentikan berkali-kali, bahkan setelah menaiki sepeda. "Aku hanya berharap hubungan kita tidak berakhir. M-mungkin aku masih bisa menghubungimu selama liburan musim dingin."

Wajah Emily tak mampu lagi berekspresi. Dikayuhnya sepeda merah jambu itu kuat-kuat, membuat Elson mengumpat dari kejauhan saat sepatu mahalnya terlindas roda. Dia terus memanggil Emily dengan suara parau. Sepanjang jalan, mata Emily terasa perih, sampai tak terasa air matanya menguap ditelan udara. Dia tidak pernah berharap hal yang rumit, walaupun di saat bersamaan menerima fakta bahwa julukan "anjing betina" itu mungkin benar. Sudah hampir tak terhitung lagi Emily berpacaran, mulai dari tipe yang paling culun hingga yang berisiko tinggi seperti Elson. Elson adalah anak walikota sekaligus donatur terbesar sekolah swasta yang mereka tempati. Ditambah punya reputasi pemegang piala badminton tingkat nasional, dan mantan pacar dari ketua klub tari. Sementara Emily hanyalah antagonis yang merusak kisah sempurna tersebut.

Sepeda itu berbelok, lalu melaju lebih cepat di jalanan yang agak licin. Sementara Emily masih tak habis pikir tentang alasan mengapa dia bisa menjadi seorang pemain tanpa bisa dia cegah. Jika mau jujur, pengalaman ini justru membuatnya bangga, bisa mendapatkan perhatian dari para lelaki tanpa harus bersusah payah. Namun, pada akhirnya, pasti ada sesuatu yang membuat hubungan itu selesai. Bukan, bukan karena mantan yang bermulut pedas seperti kasus Elson sekarang, tetapi jauh di lubuk hati Emily, ada sesuatu yang tidak pernah dia dapatkan dari mereka.

Jika Tere benar, Emily mungkin harus segera mencari psikolog atau mungkin konsultan seks. Sahabatnya itu mengira kematian Daniel di masa lalu adalah penyebabnya. Emily bahkan mungkin lupa bahwa dia pernah kehilangan seorang pria yang sangat penting dalam hidupnya.

Sepeda merah jambu itu berhenti mendadak di depan sebuah rumah mungil dengan gaya Skandinavia. Pemandangan di hadapannya justru membuat hati Emily makin memberontak. Segerombolan orang berbadan besar membawa ibunya masuk ke dalam minivan hitam.

"Mom!"

Emily menjerit sambil berlari. Namun tenaganya jelas tak mengimbangi laju mobil yang bergerak serampangan ke arah Selatan. Dada Emily terasa sesak, seluruh darahnya serasa terkumpul di kepala. Remaja perempuan itu pun hanya bisa menangis sekeras mungkin, saat para tetangga keluar, terkejut dan turut prihatin. Seorang nenek segera memeluk Emily di rerumputan, lantas si pria yang masih berdiri pun berusaha menelepon polisi.

<<<>>> 

HEXAGON [2] | Singularitas Hitam Putih ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang