29 | Proletariat (part 4)

2K 310 97
                                    

<<<>>>

"Saya sepenuhnya mengerti perasaan Anda. Bencana tragis kemarin sudah banyak membawa orang untuk datang ke saya. Mereka memiliki reaksi berbeda-beda dalam menghadapi stress. Dan terkadang, perasaan mengganggu itu dapat bertahan selama beberapa bulan."

Ada jeda sejenak. Wanita berumur empat puluh tahunan yang memegang tablet di atas pangkuan melanjutkan kalimatnya, "Tetapi Anda sepatutnya bangga, karena sudah bias melakukan supresi ego. Menempatkan prioritas, putri Anda, di tengah perang batin seperti ini tentu bukan suatu hal yang mudah. Pertahankan itu." Wanita tersebut condong memberi semangat. Dalam ruangan dengan kertas dinding putih bermotif garis abu-abu, Olivia tersenyum sambil menyeka sisa air mata.

"Kita bisa mengakhiri sesi ini." Wanita tua itu berdiri dan menghampiri lemari obat. "Saya akan memberi beberapa resep, dan jangan lupa untuk kembali lagi minggu depan," katanya, tersenyum ramah sambil menyodorkan botol berukuran kecil. Olivia berterima kasih dengan nada lirih.

Baru kali ini Olivia paham seberapa wajib keberadaan seorang psikiater di blok rumahnya. Ia hampir tidak tidur sama sekali selama satu minggu penuh. Kantung matanya setebal dan sehitam kulit kerbau. Langkah kakinya saja goyah, seolah sangat sulit untuk keluar dari tempat praktik itu menuju apartemennya. Suasana hati wanita tiga puluh tahun itu pun kian benjut. Ditinggal pergi sahabat terbaiknya ke pulau Ares hanya membuat Olivia sering bengong dan memikirkan hal yang tidak seharusnya ia pikirkan. Moza tak bisa sesering dulu ia ganggu, ia punya kehidupan sendiri. Kenangan suaminya tak lagi membuat Olivia tersenyum, justru sebaliknya. Jelas, kegelapan lebih sering muncul, menelan sinar-sinar Daniel. Ia semakin banyak mendapat flashback. Seolah semesta tak mengizinkan Olivia berpisah dengan masa lalunya.

Tetapi benar apa kata dokter, kewajiban menghidupi seorang putri yang biaya kebutuhannya ikut tumbuh, jelas tidaklah sesederhana menelurkan kristal Hexagon. Tetapi setidaknya, sedikit keyakinan itu bisa ia jadikan sumber cahaya dalam ruang gelap yang menghantuinya.

Belum ada seminggu Olivia alpa dari pekerjaan, namun berjalan melintasi jalanan ini membuatnya pangling. Rancangan gedung-gedung baru berdiri dengan angkuh. Kota lama mulai disulap menjadi wahana masa depan, semenjak Soteria menjadi rumah baru bagi Hexagon. Olivia melewati lalu-lalang orang-orang yang tak dikenalnya. Beberapa menyapa dengan pandangan sungkan dan kaku—ada yang mereka sembunyikan dari balik ekspresi wajahnya, sisanya tak acuh. Wanita berambut hitam digelung itu memang tak terlalu mendapatkan tempat di hati publik, semenjak gosip miring yang beredar. Pertunangan Cedric dengan Kadisia sepertinya sudah memiliki 98% dukungan warga, 2% sisanya mungkin hanya orang-orang yang tidak peduli dengan dunia selebriti dan politik. Dan kedekatan Olivia dengan Cedric menjadi sesuatu yang mengganggu. Mungkin juga karena alasan itulah akhir-akhir ini Olivia berusaha menjauhi Konsorsium.

Jam tangan Olivia bergetar. Dilihatnya nama Cedric di sana. Beberapa langkah ia hanya mengamati layar bundar itu meminta untuk direspons. Akhirnya Olivia menepi dan mengangkat telepon Cedric lewat handsfree.

"Kamu tidak masuk lagi hari ini?"

"Hmmm ..., begitulah."

"Masih belum enakan?"

Olivia lama-lama kesal betapa Cedric seolah tidak mengindahkan sorotan publik terhadap dirinya. Padahal jika Cedric berperilaku seperti ini terus, Olivia akan sulit lepas dari gosip yang kian memanas. Dan pada akhirnya yang merasa tidak baik-baik saja adalah Olivia, bukan dia.

"Hello ...? Are you still there?"

"Ah, ya, maafkan aku Ced. Aku perlu banyak istirahat dulu sebelum proyek selanjutnya. Kau mengerti, kan?"

HEXAGON [2] | Singularitas Hitam Putih ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang