21 | Naissance (part 2)

2.6K 365 73
                                    

<<<>>>

Jemari tangan Olivia bergerak-gerak di dalam genggaman tangan Moza. Wanita berambut lurus sebahu itu segera bangun, menoleh mencari tahu. Ia pikir Olivia tak akan pulih sadar dalam waktu dekat, nyatanya ia salah kira. Si sakit telah menampakkan iris biru mudanya. Moza tertawa tertahan, saking leganya, begitu pun dengan Cedric yang berdiri dan tersenyum lebar di belakang Moza.

"Emily?"

Suara lirih Olivia langsung mendapat respons Moza, "Oh, dia di rumah bersama Ben."

"Ben?"

Ekspresi Moza berubah jadi malu-malu kucing, di saat Olivia menemukan sebuah cincin emas di jari manis tangan sahabatnya itu. "Kau akan kukenalkan dengan dia setelah pulang nanti."

Olivia menyunggingkan senyum mendengar kabar yang membahagiakan tersebut. Kemudian ia mencari sosok Cedric di sebelah. "Bagaimana dengan perlombaanku?"

Jujur saja pria berambut pirang itu kebingungan menjawab pertanyaan Olivia. Moza sampai-sampai mengguncang tangan Olivia gemas. "Bisakah setidaknya kau memikirkan dirimu sendiri sebelum yang lain?"

Olivia menggeleng pelan, melihat sekilas kalender digital di atas meja, lantas pandangannya terfiksasi ke depan, "Aku tidak punya banyak waktu lagi."

<<<>>>

"Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk memenuhi permintaan saya, Tuan Russel."

"Frans," tukas pria dengan rambut putih segaris sebagai aksen pinggir kepala, menaruh gelas anggur di meja sambil mencecap bibir. "Solo llámame Frans—panggil Frans saja. ¡Este vino es tan bueno!" serunya memuji minuman yang disuguhkan oleh pihak restoran. Rupanya orang asing itu mudah akrab dan cukup menyenangkan. Pelayan pria yang berdiri di sampingnya pun tersenyum dan menganggukkan badan sebelum pergi.

"That's the best one from here." Hans menyeringai. "Anyway ...," ia berdehem dan membenahi posisi duduk yang terasa agak kaku, "saya ingin berbicara mengenai pekerjaan Anda, bolehkah ...?"

Frans sedikit butuh waktu untuk mencerna, "Sí. Of course, why not?" ia sendiri pun penasaran.

"Begini, dunia sedang membutuhkan satu lembaga untuk menjembatani kepentingan politik tiap negara, sehingga tercipta suatu perdamaian yang sama-sama kita inginkan."

"Aaah ..., you talk about United Nations—Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dulunya dibungkam karena lama-lama tidak efektif, korup, dan bias?"

Hans terkekeh, "Sejenis. Tetapi bedanya ini didirikan sebelum terjadi perang dunia, kita mampu mencegahnya. Dan lagi, lembaga kita akan sangat mudah dikelola, mengingat hanya ada tiga negara saja yang terlibat. Ayolah, tidak ada lagi organisasi bawah tanah yang melatarbelakangi pemikiran ini, bukan?" Pria tiga puluh lima tahun itu membuka kedua tangannya.

"Jujur, saya rasa itu hal yang sangat bagus, Hans." Frans menggulung jemari di depan wajahnya yang terpaut di atas meja. "Tetapi setelah menemui King Adras sendiri, saya jadi ragu lembaga seperti itu bisa terwujud."

Dari raut mukanya, Hans sempat membenarkan perkataan Frans. Namun ia bukan tipikal orang yang menyerah dengan cepat, "Kita harus bersatu agar punya kekuatan untuk mendesak Adras," tegasnya.

"Lalu dengan cara apa lagi?"

"Well, kita akan sama-sama mencari tahu," simpul Hans. "Saya akan membantu Anda untuk mencapai tujuan, begitu pun pula sebaliknya."

HEXAGON [2] | Singularitas Hitam Putih ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang