1 | Citadel (part 1)

10.6K 965 113
                                    

                   

_________

Citadel diambil dari Bahasa Inggris yang merupakan bentukan kata City; sebuah lapisan perlindungan yang digunakan untuk menjaga area pusat dari serangan luar. Misalnya dinding yang dibangun di dalam benteng kastel.

<<<>>>

[Kubah Gamma, Agustus Z-1]

Bukan secangkir espresso yang menemani Olivia di pukul tujuh pagi. Ia merasa tak cocok dengan minuman pahit dan pekat yang semakin melekatkannya dengan kenangan dan mimpi-mimpi. Ia sudah cukup puas ketika berada di dalam sini. Kafe sederhana dengan lantai dan dinding yang terdiri dari logam konkret. Kesan abu-abu monoton sengaja ditutupi dengan beberapa poster dan daftar menu, walaupun desain datarnya tidak benar-benar membantu.

Sebagian kecil meja dan kursi masih kosong. Hanya ada beberapa orang berpenampilan necis yang jelas bukanlah para pengangguran, sehingga mengambil sarapan sepagi ini sebelum berangkat kerja. Yang mana Olivia adalah spesial karena bukan salah satunya--setidaknya belum pada detik ini. Manusia-manusia itu bercengkerama liar, tertawa, dan bernyanyi sesekali. Seolah riwayat buruk telah berhasil mereka mutilasi. Atau jangan-jangan hanya Olivia yang terlalu sulit beradaptasi?

Wanita dengan rambut hitam disanggul ke belakang tersebut mengendap sendirian di ujung ruangan. Tempat duduk di sebelah panel jendela besar yang terlapisi kaca tebal adalah markas agung miliknya. Hanya di sinilah Olivia bisa berlama-lama melihat dunia luar. Walaupun kata orang, tak ada yang menarik di sana, hanya sisa-sisa bencana dan remah-remah masa lalu.

"Excuse me, Ma'am. Do you wanna take some desserts?"

Berkat suara pelayan wanita itu, Olivia jadi ingat dengan wafel dan minuman cokelatnya--yang tidak lagi bisa disebut panas. Keduanya kaku di atas meja metalik yang menjadi tumpuan siku, entah sudah berapa lama. Olivia segera tersenyum simpul dan menggeleng seraya menurunkan pergelangan tangan dari dagu. Pelayan wanita yang kira-kira berumur sebaya dengannya membalas senyum ramah, menutup kembali kertas dan alat tulis, lantas melenggang balik badan.

"Morning, Mr. Atlantius." Telinga Olivia sempat menangkap kalimat itu diucapkan oleh pelayan tadi dengan sopan, saat punggungnya berpapasan dengan sosok seorang pria yang sedang menebar senyum di depan meja pesanan. Detik berikutnya, pria itu sibuk menjawab sapaan dan senda gurau dari orang lain. Bagai sesosok artis yang kehadirannya langsung menyedot perhatian publik. Ya, memang begitulah fakta yang diketahui Olivia. Belum selesai ia mengamati perilaku yang luwes namun berwibawa itu, pria tersebut menoleh padanya secara tiba-tiba. Wanita bermata biru muda itu kikuk seolah tertangkap basah mencuri popok tetangga. Olivia buru-buru menyibukkan tangan untuk menyeruput cangkir cokelat lalu memotong kue pan. Sejoli di atas meja itu akhirnya disentuh juga.

Tak disangka-sangka, pria berambut pirang yang sedari tadi menyunggingkan senyum karismatik itu datang. "Ahem, may I ...?" Suara berat khas pria dewasa di tengah riuh rendah kafe yang mulai ramai, membuat Olivia mau tak mau menengok ke atas. Sedikit refleks, wanita itu langsung meninggalkan piring, berdiri, menyamai posisi lawan bicaranya.

"Ah ... at your ease. Feel free to use it, Sir." Rasa gugup yang sengaja disembunyikan Olivia membuat pria berambut pirang terang dengan mata biru tua tertawa kecil, berusaha menghumor[*]kan balok es.

____________

[*] humor (dalam ilmu medis) cairan / fluida atau semifluida

Setelah pria di depannya itu mengambil duduk, barulah Olivia kembali ke tempatnya. Wanita itu sama sekali tak siap untuk bertemu dengan orang penting saat ini. Walaupun sebenarnya blazer hitam yang dikenakannya cukup rapi dan formal. Tapi apakah cukup bila dibandingkan dengan busana sutra putih sang bangsawan? Sementara si pria langsung berkelakar, "Saya juga sesering Anda datang kemari, Mrs. ...?"

HEXAGON [2] | Singularitas Hitam Putih ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang