6 | Ijab Qobul

Mulai dari awal
                                    

Mark mengangguk singkat dan menatap gadis yang tengah menunduk itu, netranya beralih, berpikir dan mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari mulut Yeri hingga, "Kamu suka sama saya?"

Yeri tersentak akan pertanyaan itu. Wajahnya memerah malu. Ia salah memilih kata saking gugupnya. "Bu-bukan itu maksudnya, kamu suka sama apa yang aku jual dan aku suka sama harganya, gitu..." jelasnya pelan.

Mark terkekeh, kenapa ia jadi gemas sendiri ya, "Oke, saya paham. Jadi, kapan mulai Ijabnya?"

"Kalau kamu siap dan ridho,"

"Saya ridho dan saya siap sekarang juga," untuk beberapa saat, Yeri memikirkan ijab qobul yang lain. Namun ia segera menepisnya jauh-jauh, inilah efek dari desakan keluarga untuk segera menikah.

"Eh tapi, kalau qabulnya duluan bisa gak?" Tanya Mark tiba-tiba.

Yeri nampak berpikir sesaat, "Menurut jumhur ulama, penentuan ijab qabul gak diliat dari siapa yang lebih dulu menyatakan, tapi dari siapa yang memiliki dan siapa yang akan memiliki."

"Dalam jual beli, yang memiliki barang adalah penjual, sedangkan yang akan memilikinya adalah pembeli. Artinya yang dikeluarkan oleh penjual adalah ijab meskipun datangnya belakangan, sedangkan pernyataan yang dikeluarkan oleh pembeli adalah qabul meskipun dinyatakan pertama kali. Jadi tetep sah," jelasnya.

"Kalau gitu saya yang mulai ya?" Seru Mark. Yeri sedikit bingung pada awalnya karena baru kali ini ada yang menawarkan lebih dulu. Namun bukankah itu hal bagus?

Mark tersenyum tipis, "Saya terima tiga puluh bungkus ayam ini dengan harga sembilan ratus ribu."

Tanpa sadar, Yeri balas tersenyum pada Mark, "Saya jual."

Keduanya saling menatap dan bertukar senyum. Menikmati keindahan yang Allah ciptakan di dunia ini. Menyelami wajah masing-masing sedikit lebih lama, sampai keduanya sadar dan segera menunduk dan kompak beristighfar.

Yeri merasa bersalah telah menatap Mark terlalu lama, hingga rasanya ia ingin menangis. Ya ampun, matanya basah.

"Ma-makasih. Dan tolong hapus kontak saya, lain kali kalau pesan lewat Haikal aja. Assalamu'alaikum," Baru satu langkah Yeri hendak pergi. Suara Mark memaksanya terdiam di tempat.

"Bila ada yang berkata 'Akad nikah', disebutkan oleh Allah dengan kata-kata nikah, sehingga pada akadnya harus menggunakan kata-kata 'menikahkan'. Maka kita jawab. Sama halnya kaya jual beli, Allah sebutkan dengan kata jual beli. Apa kamu juga berpendapat waktu kamu bertransaksi jual beli kamu harus pakai kata 'saya jual?' Sebenernya akad jual beli bisa terjalin dengan ucapan apa aja yang biasa di pake waktu kita menjual dan gitu juga waktu kita membeli. Ditambah, ternyata akad nikah dalam hadits-hadits nabi gak cuma disebutin dengan kata nikah. Tapi di sebut pula dengan kata lain."

"Adzhab faqad mallaktakaha bimaa ma'aka minal qaadni. Silahkan engkau membawanya pulang, aku telah menjadikannya milikmu dengan mas kawin surat-surat Al Qur’an yang telah engkau hafal. Muttafaqun 'alaih. Itu salah satu contohnya,"

"Kalau setiap transaksi yang kamu lakuin harus diutarakan dan diucapkan kamu pasti bakal ngerasa kesulitan. Kalau kayak gitu, kamu gak bisa dong belanja di supermarket. Karena itu para ulama sepakat dengan adanya metode mu'athah atau tanpa ada sepatah kata pun,"

"Allah Ta’ala melalui Al Qur’an dan As Sunnah An Nabawiyyah hanya mensyaratkan dalam perniagaan adanya taradhi atau suka sama suka, dan hal ini letaknya dalam hati setiap orang. Sebagaimana ucapan ijab dan qabul dianggap sebagai bukti adanya rasa suka sama suka dalam hati, begitu juga perbuatan saling menyerahkan, dapat menjadi bukti adanya rasa suka sama suka yang dimaksudkan. Dan praktek masyarakat sejak zaman dahulu menunjukkan akan hal ini. Inilah pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini."

Melamarmu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang