Part 11 Nabila

37.4K 1.8K 26
                                    


“Bina” panggil seorang gadis  menghentikan langkahnya ketika sedang memasuki gerbang kampus.

"Nabila” gumam Qolbina melihat sosok Nabila.

"Mau apa gadis itu menemuiku sampai menyusul ke kampus segala" batin Qolbina sambil menatap Nabila heran.

“Ada apa?” tanya Qolbina singkat.

“Enak sekali, ya, hidupmu selama 20 tahun ini. Kamu memiliki segalanya yang seharusnya menjadi milikku” ucapan Nabila benar-benar mengusik hati Qolbina.

"Apa maksud gadis itu?. Bukan kehendaknya semua itu terjadi" batin Qolbina geram.

“Itu sudah takdir, Nabila. Kamu harusnya bersyukur bisa berkumpul kembali dengan keluarga kandungmu” jelas Qolbina.

“Aku tinggal bersama ibumu yang miskin itu sehingga aku tidak bisa melanjutkan sekolah karena keterbatasan uang. Setiap hari aku membantu ibumu membuat keripik tempe dan berkeliling menjualnya. Sementara kamu hidup enak bergelimang harta” ujar Nabila sinis menatap Qolbina.

“Nabila, apa maksud kamu?. Ibu kandungku memang miskin, tapi apa kamu layak mengejek wanita yang sudah membesarkanmu selama 20 tahun” Qolbina mulai emosi menghadapi gadis itu.

“Bukankah yang harus menikah dengan Handika adalah anak kandung papa?” Nabila menatap tajam Qolbina.

Qolbina tahu arah pertanyaan Nabila. Ya, Nabila menginginkan Handika. Siapapun yang melihat suaminya yang tampan bak pangeran itu pasti akan terpikat. Itulah yang ditakutkan Qolbina belakangan ini. Sedangkan keluarga suaminya belum tahu siapa dia yang sebenarnya.

“Jika tidak ada hal penting yang ingin kamu bicarakan, aku mau masuk. Aku tidak mau terlambat masuk ke kelas” Qolbina pamit meninggalkan Nabila dengan hati yang kesal.

Berani sekali gadis itu menghampiri hanya untuk mengambil sesuatu yang bukan miliknya yaitu suaminya.

>>>>>>>>>

Sementara di rumah Arifin, Hyuni panik memikirkan bagaimana ke depannya setelah tahu bahwa Qolbina bukan anak kandungnya.

“Pa, kita harus memberitahu Pak William kalau Bina bukan anak kandung kita. Mama takut kita masih tersangkut hutang jika yang menikah bukan dengan anak kandung kita” Hyuni  mengingatkan suaminya. Karena yang berhak untuk menjadi istri Handika adalah putri kandungnya, Nabila.

“Benar kata mama, papa takut Pak William tahu dari orang lain dan menuduh kita sudah nmembohonginya. Habislah perusahaan kita” pikir Arifin khawatir.

Sementara di rumah William, Handika semakin bingung dengan sikap Qolbina akhir-akhir ini. Qolbina seperti menciptakan jarak di antara mereka. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan istrinya. Handika memang paling tajam mencium ketidakberesan yang ada di sekitarnya. Dari gelagatnya saja Handika tahu bahwa Qolbina sudah tidak jujur dengannya.

“Em, apa yang harus aku lakukan. Aku bingung dengan sikap Bina. Apa kamu juga mencium sesuatu yang tidak beres?” tanya Handika di ruang kerjanya.

Qolbina sibuk berkutat dengan tugas kampusnya di kamar makanya Handika menjauh ke ruang kerjanya.

“Mungkin Nona sedang banyak tugas di kampus Han. Cobalah ajak keluar, makan atau sekedar jalan berdua.  Siapa tahu dia jenuh dengan tugas-tugas itu” saran Emran.

“Hm, bukan. Aku rasa bukan karena tugas kampus. Aku merasa aneh saja. Tapi tidak ada salahnya juga, sih. Aku akan mengajaknya jalan keluar” Handika kemudian mematikan laptopnya dan menemui Qolbina di dalam kamar. Dia ingin mengajak Qolbina dinner di luar.

“Bina Sayang” panggil Handika menghampiri Qolbina. Qolbina menoleh sekilas lalu melanjutkan lagi aktivitasnya.

“Hey, nanti dilanjutkan lagi tugasnya. Ayo, kita jalan keluar” ajak Handika menarik tangan Qolbina.

“Apaan sih, Mas. Tugasku mau dikumpulkan besok” rengek Qolbina. Dia tidak mau dimarah dosennya kalau sampai terlambat mengumpulkan tugas.

“Ayo, Sayang ganti baju. Tidak ada penolakan” ujar Handika tegas.

Qolbina dengan berat hati menuruti kemauan suaminya yang dadakan itu.
Turun dari tangga Handika  terkejut melihat kedatangan mama dan papa mertuanya. Dan seorang gadis cantik bersama mereka. Siapa? Setahu Handika kakak Qolbina tidak secantik itu dan Qolbina juga tidak memiliki adik perempuan. Qolbina lebih terkejut lagi dengan kedatangan keluarga Arifin yang membawa serta anak kandungnya. Jantung Qolbina berdebar kencang ada perasaan tidak enak yang menjalar di hatinya. Diliriknya Handika, suaminya seperti terpesona melihat Nabila. Perih. Hatinya sungguh perih.

Pak Arifin menceritakan tujuan kedatangannya dan mengenai anak mereka yang tertukar sejak mereka masih bayi. Sekilas Handika melirik Qolbina, pantas saja wajah istrinya tidak mirip sama sekali dengan kedua mertuanya.

“Bagaimana, Pak William? Karena yang menikah dengan anak bapak bukan anak kandung saya apakah perjanjian pelunasan hutang dibatalkan dan pernikahan mereka juga...” Arifin tidak melanjutkan ucapan.

“Saya mengerti maksud arah pembicaraan anda, Pak Arifin, tapi semua keputusan saya serahkan kepada Handika” William menoleh ke arah Handika.

Qolbina tersentak kaget.
Apa maksud papanya dia harus bercerai dengan suaminya dan menikahkan Nabila dengan Handika agar perjanjian itu tidak batal. Qolbina ingin cepat-cepat pergi menjauh dari mereka. Hatinya benar-benar hancur.
Rencana Handika mengajak Qolbina jalan keluar pun batal. Setelah keluarga Arifin pulang Handika menyusul William ke ruang kerja.

“Apa yang harus ku lakukan, Pi?” tanya Handika meminta pendapat papinya. Dia sungguh bingung dengan kenyataan yang baru saja dia hadapi.

“Ikuti kata hatimu. Jangan salah mengambil keputusan, Han. Qolbina bukan dari keluarga berada tapi takdir yang membawanya kepada keluarga Arifin. Bukankah mereka berdua tetap ada ikatan darah walau bukan dari orang tua yang sama. Air susu ibu mereka yang menjadikan Qolbina dan Nabila sebagai saudara sepersusuan” jawab William.

Benar kata papinya, Handika akan mengikuti kata hatinya. Dia akan mengambil keputusan secepatnya. Pantas saja sikap Qolbina berubah belakangan ini, ternyata dia menyembunyikan statusnya yang bukan anak kandung Arifin. Handika sedikit merasa kesal dengan ketidakjujuran Qolbina.

Handika kembali ke kamarnya. Dilihatnya Qolbina sudah tidur dengan arah memunggunginya. Padahal sebenarnya malam itu Qolbina tidak bisa tidur sama sekali. Dia tahu Handika tidak tidur di sampingnya tapi tidur di sofa kamar. Air mata Qolbina menetes, Handika bahkan sama sekali tidak mau menyentuhnya. Keputusan apa yang akan diambil Handika, dia sudah siap.

Di meja makan seperti biasa mereka sarapan pagi. Qolbina mencoba untuk bersikap biasa saja meskipun matanya terasa berat akibat tidak bisa tidur semalam.

“Ehem...Bina. Nanti Emran yang akan mengantarmu kuliah aku takut terlambat karena ada rekan bisnis datang pagi ini” ujar Handika.

Deg. Qolbina bisa merasakan kalau Handika menghindarinya. Sesibuk apapun dia, Handika tidak akan membiarkan dirinya diantar Emran. Tapi hari ini...sikap Handika tiba-tiba berubah.

“Iya, Mas, tidak masalah. Seharusnya kemarin-kemarin memang itu tugas Emran” sindir Qolbina.

William hanya menatap aneh perubahan sikap putra dan menantunya itu.

Tbc

Exchanged Marriage (Complete)Where stories live. Discover now