Part 10 Ketakutan Qolbina

40.9K 1.8K 15
                                    


“Mas, nanti pulang dari kampus aku ke rumah papa” ujar Qolbina sebelum Handika masuk ke mobilnya.

“Hm..Nanti pulang-pulang kehujanan lagi” ledek Handika menjawil hidung Qolbina.

“Iya nggak pa pa , biar nanti ada yang menghangatkan” balas Qolbina tersenyum kecil.

“Ohh...dengan senang hati sayang” ujar Handika tersenyum nakal.

“Ih..maunya. Udah sana pergi” Qolbina mendorong badan Handika agar masuk  ke mobil. Dia benar-benar malu kalau ingat kejadian itu.

“Ok. Minta jemput Emran.....” Handika menggantung ucapannya. “Ah tidak... nanti telpon saja biar aku jemput” lanjut Handika.

Qolbina mengeryitkan dahinya. Kenapa Emran sekarang tidak boleh lagi menjemputnya Qolbina sempat heran. Masa iya Handika cemburu dengan ajudannya sendiri. Qolbina tersenyum kecil.

“Kenapa senyam-senyum?” selidik Handika.

“Nggak. Udah sana pergi. Nanti aku telpon kalau mau pulang” usir Qolbina.

“Ok. Tapi kiss dulu” tunjuk Handika ke bibirnya. Qolbina melongo bisa-bisanya Handika meminta cium di depan umum begini.

Tapi kalau belum diturutin kemauannya laki-laki itu tidak mau pergi.
Handika sedikit membungkukkan badannya agar sejajar dengan Qolbina. Wajahnya sudah sejajar dengan wajah Qolbina. Qolbina melirik kanan kiri dia benar-benar malu kalau ada mahasiswa lain yang melihatnya. Secepat kilat Qolbina mencium bibir Handika. Handika terkekeh melihat aksi istrinya yang takut kayak ke pergok Hansip.

“Terima kasih sayang, jangan lupa telpon ya” Handika masuk ke mobilnya.

Sementara Qolbina bergegas masuk ke kampus. Pagi-pagi Handika sudah membuat jantungnya olah raga. Pipinya merona.

“Semoga tidak ada yang melihat” Bisik Qolbina tersenyum malu.

>>>>>>>>>

“Bina, mama dan papa mau mengajakmu ke suatu tempat” ujar papanya.

Deg. Jantung Qolbina berdetak kencang. Apakah papanya akan mengajaknya ke rumah orang tua kandungnya. Meskipun dia sendiri belum mendengarkan langsung pengakuan dari mama dan papanya.

“Sebenarnya kita mau kemana pa?” tanya Qolbina untuk menyakinkan perasaannya.

“Bina, waktu kamu lahir bersamaan dengan seorang ibu melahirkan anak perempuan juga. Tapi karena kelalaian seorang perawat. Anak yang ibu itu lahirkan tertukar dengan anak mama. Karena takut dipecat pihak rumah sakit perawat itu menyembunyikan fakta itu bertahun-tahun. Sampai suatu hari sebelum ajal menjemput perawat itu membongkar rahasia yang selama ini disimpannya agar dia bisa meninggal dengan tenang” jawab Arifin.

“Jadi Bina bukan anak mama” ujar Bina menyimpulkan. Matanya berkaca-kaca. Hyuni mengangguk sedih mengetahui kenyataan yang sebenarnya.

“Bina sayang, kamu tetap anak mama tapi kamu punya ibu kandung yang telah melahirkan mu” Hyuni menangkupkan wajah Qolbina ke tangannya.

Qolbina tidak dapat menahan airmatanya lagi. Hyuni lalu menarik Qolbina ke dalam pelukannya.

“Bina, papa dan mama mau menjemput Nabila dan mempertemukan kamu dengan ibu kandungmu. Bagaimanapun kamu dan Nabila tetap bersaudara” jelas Arifin.

Ya mereka berdua telah menjadi saudara sepersusuan.
Setelah menempuh perjalanan 30 menit dari rumahnya, Arifin menghentikan mobilnya di rumah sederhana yang terbuat dari kayu. Di halaman rumah itu berjajar rak kayu untuk menjemur irisan tempe yang telah disusun di atas nampan. Nabila tinggal bersama Shofi yang berjualan keripik tempe untuk menghidupi keluarganya. Suaminya telah lama meninggal sejak Nabila berusia 5 tahun. Shofi menghentikan aktivitasnya menjemur tempe-tempe itu ketika melihat mobil berhenti di depan halaman rumahnya. Dia telah didatangi pihak rumah sakit yang memberitahukan perihal bayi yang tertukar itu dan kedua orang tua bayi itu akan datang membawa anak kandungnya.

“Silahkan masuk bapak dan ibu” sambut Shofi tersenyum sambil melirik Qolbina.

Shofi sangat terkejut melihat wajah Qolbina yang sangat mirip dengan mendiang suaminya.

“Ibu, siapa yang datang?” teriak Nabila keluar dari rumah.

Hyuni, Arifin dan Qolbina melihat gadis berambut panjang keluar dari rumah. Wajah gadis itu sangat mirip dengan Hyuni. Cantik dan berkulit putih.

“Nabila, ini mama dan papa kandungmu” jelas Shofi.

“Jadi benar Bila bukan anak ibu, Ya Tuhan akhirnya aku bisa lepas dari penderitaan ini” gumam Nabila bahagia.

Entah kenapa Qolbina tidak menyukai ucapan Nabila. Gadis itu seperti merendahkan ibu yang telah membesarkannya.
Arifin dan Hyuni memeluk anak kandungnya. Qolbina mencium punggung tangan Shofi. Dia begitu terharu melihat perjuangan ibunya. Seharusnya Nabila tidak mengeluh ketika menjadi anak ibunya. Bukan salah ibunya, semua terjadi karena takdir.
Qolbina ikut pulang bersama keluarga Arifin, dia berjanji akan datang lain kali menjenguk ibunya. Qolbina merasa jengkel sekali mendengar celoteh Nabila sepanjang perjalanan pulang. Menceritakan penderitaannya selama menjadi anak Shofi.

>>>>>>>>>>

Seperti janjinya Handika menjemput Qolbina pulang. Sepanjang perjalanan Qolbina hanya membisu. Handika pun merasakan keanehan sikap istrinya. Pagi tadi dia begitu ceria kenapa ketika pulang suasana mendadak dingin.

“Sayang, kamu kenapa?” toleh Handika sambil menggamit tangan Qolbina. Qolbina yang tampak melamun tersentak kaget menyadari tangannya digenggam Handika.

“Eh...nggak kok hanya kecapekan aja” elak Qolbina.

“Emang kamu di rumah papa nyangkul atau nguras kolam ya?” canda Handika.

“Nggak. Aku tuh ngepel rumah dari lantai bawah terus lantai atas juga” balas Qolbina.

Handika terkekeh. Kalau bicara dengan Qolbina ada aja balasannya. Qolbina tersenyum menutupi perasaannya yang sedang kacau.
Ketika makan malam Qolbina belum turun juga dari kamarnya. William dan Handika saling pandang.

“Han, apa Bina tidak makan malam?” tanya William heran tidak seperti biasanya menantunya itu melewatkan makan malam bersama.

“Wina, panggil nona” perintah Handika. Wina bergegas ke lantai dua memanggil istri majikannya. Tak lama Wina turun kembali tanpa Qolbina.

“Tuan, nona bilang dia tidak lapar jadi tidak usah menunggu nona” ujar Wina.

“Ada apa Han?” lirik William seperti mencium sesuatu yang tidak beres.

“Entahlah pi, setelah pulang dari rumah papanya sikap Qolbina lebih banyak  diam” jelas Handika.

Setelah makan malam Handika menemui Qolbina di kamar. Dilihatnya Qolbina melamun berdiri di pintu balkon. Angin malam menghembus gaun tidur dan rambutnya yang tergerai sebahu. Handika mendekati Qolbina dan memeluknya dari belakang. Qolbina begitu terkejut dengan kehadiran suaminya itu.

“Kalau ada masalah berbagilah denganku” bisik Handika menempelkan wajahnya ke pipi Qolbina.

“Aku hanya takut” gumam Qolbina.

Qolbina takut Nabila akan menuntut bahwa dialah yang berhak menikah dengan Handika karena dia anak kandung Arifin. Lagipula Nabila lebih cantik darinya bisa jadi Handika akan jatuh hati kepadanya.

“Takut? Apa yang kamu takutkan?” tanya Handika tidak mengerti apa yang dipikirkan Qolbina.

“Takut. Apa yang sudah kumiliki selama ini akan pergi meninggalkanku” lirih Qolbina. Handika membalik badan Qolbina menghadapnya.

“Tidak ada yang perlu ditakutkan. Aku akan selalu di sampingmu” ucap Handika menarik Qolbina ke dalam pelukannya.

Qolbina merasa nyaman dalam dekapan suaminya namun hatinya tetap saja tidak tenang.

Exchanged Marriage (Complete)Where stories live. Discover now