"Kenapa nggak dilanjutin?" tanya Kak Sean sambil menunjuk bukuku dengan dagunya. Aku segera melanjutkan tugas dari Bu Tresna.

Di antara pikiranku yang mengambang, aku tiba-tiba terpikirkan sesuatu hal. Apa kabar pertemuan kami di depan kafe?

"Kak? Soal yang waktu itu... eum...." Aku tanpa sadar menggaruk kertas dengan telunjukku. "Yang di kafe. Itu...."

"Yang lo lagi jalan bareng Erlang?" potongnya.

"Iya...." Aku langsung menggeleng. "Maksud gue, Kak Erlang ngajakin gue jalan." Atau itu namanya kencan? "Gue sih inget kata lo, Kak, waktu itu. Cuma nggak berani nolak."

"Lo takut sama Erlang?"

Aku menggeleng. "Bukannya takut."

"Lo nggak berani nolak karena emang seneng diajak jalan sama dia?"

"Enggak, Kak!" Astaga aku terlalu berlebihan berteriak. Kenapa dia harus menyebut kata senang, sih? "Malam itu gue nge-WA lo Kak, tapi Kak Sean nggak pernah baca sampai sekarang."

"Gue terakhir buka HP tadi sore."

"Barbara ngedeketin Kak Sean lagi?"

Kak Sean mengangkat alisnya. "Iya."

Kok cuma iya, sih?

"Kenapa nggak dijauhin aja, Kak? Dia tuh nyebelin!" Aku tak perlu repot-repot takut kalau Kak Sean tahu aku menyukainya. Memang dasarnya Barbara menyebalkan, kan?

Sebagai tetangga yang baik hati, aku ingin memperingati Kak Sean dari cewek-cewek macam Barbara.

Kak Sean mencongdongkan tubuh. "Udah gue lakuin."

"Tapi, Barbara gandeng-gandeng tangan Kak Sean, Kak Sean nggak ngejauhin."

Apa kata-kataku tak salah? Tidak berlebihan, kan? Tidak terdengar seperti cewek yang posesif ke pacarnya, kan?

"Bukannya apa-apa. Sayang banget kalau Kak Sean bareng modelan Barbara," lanjutku lagi karena Kak Sean diam. Aku hanya memikirkan betapa Barbara itu tidak baik untuk Kak Sean.

"Udah gue coba lakuin juga," katanya.

"Ngejahuin Barbara, tapi sering jalan bareng Barbara gimana, sih?" tanyaku cepat.

Dasar mulut!

"Gue nggak pernah jalan bareng dia." Kak Sean terlihat heran.

"Terus kemarin apa?" Mulut! Aku tak bisa mengeremnya.

"Kemarin emangnya kenapa?"

"Kata Barbara, dia jalan bareng Kak Sean kemarin sore."

Kak Sean mendengkus. "Percaya sama dia?"

Aku menggeleng.

"Lo aja nggak percaya," katanya.

Aku menunduk. Ya ampun! Sejauh mana aku bicara?

Aku tak bisa berkata-kata lagi saat melihat Kak Sean tersenyum sepintas. Sepertinya, pembahasan ini berakhir. Sudah jelas, kan? Barbara itu yang kegenitan! Dia juga berbohong kepadaku mengenai Kak Sean dan dirinya yang jalan berdua. Lagipula, Sisca juga yang melihat langsung bahwa kemarin sore Kak Sean tak ke mana-mana selain dia melatih anggota paskib.

Kak Sean lanjut mengajariku sampai satu jam terlewati. Tak terasa waktu berlalu. Aku sampai merasa ingin waktu berhenti saja saat Kak Sean banyak bicara hanya saat mengajariku.

"Akhirnya!" Aku merenggangkan tangan dan memejamkan mata. Mataku sedikit terbuka hanya untuk melihat apa yang Kak Sean lakukan.

Aku berdiri, lalu membuntuti Kak Sean dari belakang. Kak Sean berhenti dan berbalik. Aku menautkan jemari sambil menyengir ke arahnya.

"Dua hari yang lalu gue nemenin Aira—"

"Bareng Barbara?!" Aku memotong ucapan Kak Sean saking terkejutnya.

Kak Sean menggeleng. "Gue nggak pernah jalan bareng dia."

Aku menggaruk tengkukku. "Gue cuma nanya, ya. Hehe. Jangan mikir yang aneh-aneh." Aku tak tahu harus menyimpan wajahku di mana. "Oh, ya tadi apa, Kak?" tanyaku tanpa melihatnya. Pandanganku hanya tertuju ke pilar teras.

"Nanti Aira ke sini."

Aku langsung menatap Kak Sean. "Ke sini? Ngapain?"

"Ngasih sesuatu."

"Kenapa nggak Kak Sean aja?" Kenapa ucapan-ucapanku tak seperti biasanya? Aku selalu menyesal karena ucapanku seperti sedang menggodanya. "Maksud gue, besok kan mau berangkat bareng gitu. Lagian, udah malem. Aira pasti udah tidur juga."

Kak Sean hanya diam. Membuat bibirku tak bisa mengerem mendadak.

"Mau ngasih apa, Kak? Buku, ya? Kamus Bahasa Inggris? Ah, komik? Kak Sean belum ngasih komik, kan? Atau kaset film bahasa Inggris? Waktu itu Kak Sean janji mau nonton bareng!"

Aduh. Pengin nangis.

Kak Sean tertawa. "Udah. Tunggu Aira aja. Gue suka lihat dia kesel."

Aku memainkan tumitku di lantai. "I... iya." Ujung-ujungnya, aku tak bisa mengekspresikan rasa setujuku untuk melihat Aira kesal.

Kak Sean mengeluarkn sesuatu dari kantong celana jeans-nya. Aku melihat benda di tangan Kak Sean dengan penasaran.

"Sesuatu buat lo." Kak Sean menyodorkan sebuah ... flashdisk?

Aku mengambil flashdisk itu dan menatap Kak Sean bingung. "Materi Bahasa Inggris, Kak?"

Kak Sean menggeleng. "Jangan heran dengan suara gue di awal-awal."

Aku semakin bingung. "Suara?" Aku menatap flashdisk di tanganku. Mengamatinya saksama. "Apa, sih, Kak?"

"Nanti lo juga tahu."

*


thanks for reading!

love,

sirhayani

Game Over: Falling in LoveHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin