26

92.7K 9.4K 542
                                    

Motor Papa tak lama lagi tiba di rumah dan sepanjang perjalanan yang aku lakukan hanya berpikir mengenai siapa satu pemain Game Over. Aku memang curiga kepada Kak Sean, tetapi hanya curiga tanpa mengetahui langsung dari mulut orang-orang yang bersangkutan membuatku tak ingin berprasangka lebih jauh. Jika Elon tidak mau memberitahuku, maka aku bisa bertanya ke Kak Airlangga atau aku harus mencari Kak Malvin. Kak Gama? Aku mundur soal cowok satu itu. Galak.

Meskipun, ada benarnya juga jika Kak Sean termasuk dari mereka karena Kak Sean yang mendekatiku dan menyuruhku untuk tidak dekat-dekat dengan cowok lain adalah sesuatu hal yang tak wajar. Bukankah kalimat-kalimat Kak Sean itu terdengar seperti bahwa dia memiliki rasa kepadaku? Maksudku, kenapa baru berperilaku terang-terangan sekarang? Kenapa tidak sejak dulu jika memang Kak Sean menyukaiku? Apa karena dulu aku hanyalah bocah SMP? Atau Kak Sean baru menyukaiku sekarang? Kak Sean yang menunggu sampai aku memakai seragam putih abu-abu yang sama dengannya bukanlah alasan yang masuk akal.

Atau ah. Entahlah. Memikirkan hal yang tak sampai di otakku membuatku hanya semakin berpikir jauh dan tidak masuk akal.

Aku memberenggut saat kalimat terakhir Kak Sean berputar-putar di kepalaku. Membuatku tanpa sadar menutup wajah.

"Ingat kata-kata Papa." Papa turun dari motor, mengacak rambutku setelah aku membuka helm. Aku ikut turun dan berlari kecil membawa helm di tangan kanan dan kamus di tangan satunya, lalu kuletakkan helm itu di meja ruang tamu saat aku mendengar suara hentakan kaki seseorang yang berlari.

Aku berbalik. Aira tengah berdiri di beranda rumah. Menatapku dengan tatapan kesal.

Kenapa lagi, sih, dia? Heran.

"Apa?" tanyaku dengan muka galak.

"Nomor Kakak, dong. Siniin." Telapak tangan Aira menengadah dan memandangku dengan senyum culas.

"Buat apa? Mau neror aku, ya?"

"Enggak. Aku juga nggak mungkin minta nomor Kakak. Kurang jerjaan banget kalau aku minta nomor Kakak."

"Nggak jelas, sih? Terus barusan ini apa?"

"Diminta sama Kak Sean. Bukan aku, ya!"

Mataku menyipit. "Bohong."

"Kak Sean, nih, yang minta. Nggak tertarik? Kakak kan bucin-nya Kak Sean," kata Aira dengan muka songong. Membuatku mengerang kesal dikatai sebagai budak cintanya Kak Sean.

Aira pasti bohong! Atau benar? Aku memasang wajah tembok. Pura-pura kelihatan cuek dan tak tertarik dengan kata-katanya. Harus jual mahal ke anak perempuan satu ini.

"Gue nggak mau." Aku memeletkan lidah.

"Tampang Kakak nyebelin, deh. Nggak usah melet-melet. Ntar Mama aku bakalan motong lidah Kakak."

Aku langsung mengatupkan bibir. "Sejak kapan Kak Sean minta. Bohong kan kamu?"

"Barusan diminta, Kakak Jelek!"

"Ih, dasar!" Aku menghentakkan kaki. "Jangan bohong, ya? Aku sama Kak Sean tuh ketemu di toko buku tadi. Malah aku duluan yang pergi dari toko buku."

"Tadi Kak Sean emang sempet pergi, terus balik lagi beberapa waktu lalu." Aira membalas, ikut menghentak-hentakkan kakinya. "Nggak percaya? Sana cek aja sendiri pakai teropong."

Aku menatapnya datar. Pandanganku beralih ke rumahnya. Pagarnya terbuka sedikit. Garasinya juga sudah tertutup rapat. Aku curiga Aira sedang mengerjaiku. Dia kan yang paling tidak rela kakak tercintanya dekat-dekat denganku.

Aku kembali menatap Aira sambil memutar bola mata. Lelah. Saat aku berbalik dan melangkah, Aira berteriak lagi.

"Kak, please! Kalau aku nggak dapat nomor Kak Vera dari Kak Vera langsung, aku nggak bakalan dapat hadiah dari Kak Sean."

Kakiku memutar cepat. Hadiah? Kalau dipikir-pikir lebih jauh, memang masuk akal. Anak ini mana mau melakukan sesuatu dengan cuma-cuma? Dia bahkan bisa merelakan hal yang paling tidak dia sukai jika dia diberikan sesuatu yang jauh lebih berharga.

Aku berdeham. Jantungku kembali tak normal membayangkan wajah Kak Sean yang sedang menyuruh Aira meminta nomorku.

"Kenapa bukan Kak Sean-nya langsung yang minta ke aku?" tanyaku, hara-harap cemas. Namun, Aira menanggapinya dengan dengusan sebal.

"Berharap banget, ya?" Aira berkacak pinggang. "Kak Sean cuma ngasih aku tantangan. Tujuannya bukan bener-bener pengin nomor Kaka, wle." Idih, dia memeletkan lidahnya. "Siniin. Aku udah capek ngomong dari tadi. Buang-buang tenaga tahu."

Dasar tidak sopan.

"Kenapa nggak ke Doni aja?" Aku mendengkus sebal.

"Emang di kontak Kak Doni ada nomor Kakak? Nggak ada, tuh," balas Aira semakin menyebalkan. "Lagian, aku udah bilang tadi kalau aku harus minta ke Kak Vera langsung."

Aku mengangkat daguku. "Minta yang sopan dulu."

Aira diam. Memandangku dengan ekspresi datar. Kemudian, dia menghela napas panjang dan mulai bicara dengan suara lembut. "Kak, aku boleh nggak minta nomor Kakak? Soalnya dimintain Kak Sean, please...."

Aku menahan tawa. "Lo bawa handphone nggak?"

Aira menggeleng. Aku kemudian meminta nomornya dan mengirimkannya sebuah pesan whatsapp ke nomornya.

Ada apa, ya? Aku harusnya berpikir positif. Apa mungkin Kak Sean sengaja meminta nomorku lewat Aira? Jangan-jangan tadi Kak Sean masih mau menahanku dan meminta nomor? Ah, harusnya aku bicara banyak dengannya. Seandainya Papa tidak datang secepat itu, pasti aku tercatat pernah berada di atas motor Kak Sean.

"Kak Vera ngapain senyum-senyum sendiri?" tanya Aira. Aku langsung menghilangkan senyum di wajah. "Nggak perlu terlalu kepedean, deh, Kak. Kak Sean sengaja aku minta nomor Kakak karena Kak Sean tahu aku nggak suka sama Kakak. Makanya supaya aku dapat hadiah dari Kak Sean, aku harus ngelakuin hal yang nggak aku suka."

Mataku mendelik ke arahnya. "Nggak suka aku tapi kamu manggil aku kakak mulu. Emang aku Kakak kamu?"

"Udah, ah." Aira memeletkan lidah sebelum dia berlari ke rumahnya.

Setelah kepergian Aira, aku menutup pintu dan menguncinya karena sudah malam. Aku berlari kencang masuk ke dalam kamar dan kuhempaskan tubuhku berbaring di atas kasur sambil memandangi layar ponselku.

Oke, tunggu sebentar. Aku memegang handphone dengan kedua tangan. Dengan jarak mata dan layar kurang dari 20 cm.

Sebentar lagi.

Meskipun sudah lewat sepuluh menit aku dalam posisi ini, aku tetap menunggu sebuah notifikasi masuk. Setidaknya, dari nomor baru.

Aku terus menunggu hingga sudah lewat lima belas menit dan belum ada tanda-tanda pesan baru atau sebuah panggilan telepon. Aku mulai cemas tanpa sadar menggigit bibir. Apa aku terlalu berharap? Mungkin saja perkataan Aira benar bahwa Kak Sean melakukan itu bukan karena benar-benar menginginkan nomorku.

Aku bangkit dengan mata sendu. Mengantuk. Kusimpan ponselku di sisi ranjang saat aku mulai berdiri menuju kamar mandi untuk ritual sebelum tidur.

Belum tiba di pintu, sebuah deringan pesan masuk ke whatsapp membuatku melompat ke kasur dan mengambil ponsel itu. Ada pesan masuk dari nomor baru. Foto profilnya bukan foto Kak Sean, melainkan sebuah graffiti.

Aku membaca pesan itu.

Halo cantik

Ingat gue yang di perpus? Erlang.

*


thanks for reading!

love,

sirhayani

Game Over: Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang